Rabu, 13 November 2013

FILSAFAT KRITISISME IMMANUEL KANT SEBAGAI PENENGAH ANTARA RASIONALISME DAN EMPIRISME


Kamis, 7 november 2013
Pukul 07.30 – 10.00 di ruang 103 Gedung Lama PPs UNY


Berbicara mengenai perkembangan beberapa aliaran filsafat, kita mengenal tentang “ada” yang dikemukakan oleh Parmenides dan Herakleitos. Parmenides menyatakan bahwa realitas bukan yang berubah dan bergerak menjadi bermacam-macam, melainkan yang “ada” dan bersifat tetap. Hal ini berarti bahwa di dalam realitas ini penuh dengan yang “ada” sehingga tidak ada yang lain termasuk yang “tidak ada”, karena yang “tidak ada” itu di luar jangkauan akal dan tidak dapat dipahami. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada itu (1) satu dan tidak terbagi, (2) kekal dan tidak mungkin ada perubahan, (3) sempurna dan tidak bisa ditambah atau dikurangi, dan (4) mengisi segala tempat. Karena pendapatnya yang mengatakan bahwa yang ada itu ada dan yang tidak ada memang tidak ada, Parmenides dikukuhkan sebagai peletak landasan dasar metafisika. Sedangkan Herakleitos menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak ada sesuatupun yang tetap. Pernyataannya yang terkenal adalah "pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tetap. Dengan demikian, Herakleitos tidak mengakui adanya pengetahuan umum yang bersifat tetap. Ia hanya mengakui kemampuan indra dan menolak kemampuan akal. Karena menurutnya setiap perubahan terjadi dalam realitas konkret, serta dalam ruang dan waktu tertentu. Misalnya, dalam gerakan ruang dan waktu, biji berubah menjadi tumbuhan, menjadi pohon, dan kemudian berubah menjadi makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan sebagainya.

Dengan demikian, “ada” yang bersifat tetap yang dibawa oleh Permenides kemudian menuju kepada idealisme dengan Plato sebagai tokohnya. Idealisme ini kemudian mengarah kepada rasionalisme dengan Rene Descartes sebagai tokohnya, di mana kebenaran menurut rasionalisme itu bersifat koherentisme, konsisten, dan identitas. Sementara “ada” yang sifatnya berubah yang dibawa oleh Herakleitos kemudian menuju kepada realisme dengan Aristoteles sebagai tokohnya. Realisme ini kemudian berkembang menjadi empirisme dengan David Hume sebagai tokohnya, di mana kebenaran menurut empirisme itu bersifat korespondensi dan kontradiksi.

Rasionalisme adalah aliran yang beranggapan bahwa dasar semua pengetahuan itu ada dalam pikiran (berasal dari rasio/akal) sehingga akal merupakan alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Aliran rasionalisme ini dipelopori oleh Rene Descartes yang terkenal dengan ungkapannya Cogito ergo sum atau I think therefore I’m (saya berpikir maka saya ada). Sedangkan Empirisme adalah aliran yang beranggapan bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia itu berasal dari indra (pengalaman) manusia yang meliputi mata, hidung, telinga, kulit dan mulut. Aliran empirisme ini dipelopori oleh David Hume yang terkenal dengan ungkapannya I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Kedua aliran ini sangat bertolak belakang sehingga pada abad ke-18 terjadi konflik yang hebat antara rasionalisme dan empirisme. Kemudian, lahirlah aliran kritisisme yang dipelopori oleh Immanuel Kant, di mana kritisisme itu berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian antara rasionalisme dan empirisme. Untuk menghilangkan konflik di antara rasionalisme dan empirisme, Kant mengadakan pemaduan di antara dua aliran ini dalam hal perumusan kebenaran. Dalam kaitan ini Kant mengatakan bahwa “Pengetahuan merupakan hasil kerjasama dua unsur, yaitu pengalaman dan kearifan akal budi. Pengalaman indrawi merupakan unsur a posteriori (yang datang kemudian), sedangkan akal budi meru­pakan unsur a priori (yang datang lebih dahulu).

Kritisisme adalah aliran yang lahir dari pemikiran Immanuel Kant yang terbentuk sebagai ketidakpuasan atas aliran rasionalisme dan empirisme. Dengan kritisisme, Immanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua aliran yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing aliran benar separuh dan salah separuh. Benar bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indra kita, namun dalam akal kita terdapat faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.

Menurut Immanuel Kant, pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik a priori, yaitu suatu bentuk putusan di mana predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subyek, sehingga mengandung kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Empirisme itu tercermin dalam putusan yang bersifat sintetik a posteriori, yaitu suatu bentuk putusan di mana predikat belum termasuk ke dalam subyek. Meski demikian, sifat sintetik a pesteriori ini memberikan pengetahuan yang baru, namun sifatnya tidak tetap, dan sangat bergantung pada ruang dan waktu sehingga kebenaran di sini sangat bersifat subyektif.

Secara fenomenologis, pengetahuan terbagi menjadi dua yaitu pengetahuan a priori dan pengetahuan a posteriori. Pengetahuan a priori merupakan pengetahuan yang bersumber dari rasio atau akal, sedangkan pengetahuan a posteriori merupakan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman. Sementara metode untuk memperoleh pengetahuan juga dibedakan menjadi dua, yaitu pengetahuan sintetik dan pengetahuan analitik. Pengetahuan sintetik merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang terpisah, sedangkan pengetahuan analitik merupakan hasil analisa. Kombinasi antara sumber dan metode pengetahuan ini melahirkan 4 (empat) jenis pengetahuan, yaitu:
  1. Pengetahuan sintetik a priori, merupaka pengetahuan yang dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan mengabungkan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. 
  2. Pengetahuan sintetik a posteriori, merupakan pengetahuan  yang diperoleh setelah ada pengalaman sehingga pengetahuan ini adalah bentuk pengetahuan empiris yang lazim. 
  3. Pengetahuan analitik a priori, yaitu pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang a priori. 
  4. Pengetahuan analitik a posteriori, yaitu pengetahuan yang dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu, serta diperoleh setelah adanya pengalaman.
Dengan keempat sumber dan metode mengetahui tersebut, Kant mencoba membuktikan bahwa kemampuan rasio dan pengalaman tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berada di dalam kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Rasio memiliki kemampuan menangkap kebenaran pengetahuan secara umum, tetapi lemah dan kabur terhadap pengetahuan konkret khusus. Sebaliknya, pengalaman memiliki kekuatan mengenali setiap hal yang khusus, tetapi kabur terhadap prinsip-prinsip umum. Dengan demikian, Immanuel Kant menyatakan bahwa segala macam pengetahuan itu diperoleh dari pemikiran dan pengalaman atau dalam bahasa filsafat disebut sebagai analitik a priori (teori) dan sintetik a posteriori (kerja nyata), sehingga dapat disebut sebagai sintetik a priori.

Immanuel Kant merupakan filsuf modern yang paling berpengaruh. Pemikirannya yang analisis dan tajam memasang patok-patok yang mau tak mau menjadi acuan bagi segenap pemikiran filosofis kemudian, terutama dalam bidang epistimologi, metafisika, dan etika. Dari pertentangan antara Empirisme dan Rasionalisme, Kant mengemukakan tiga pembedaan perumusan kebenaran, yaitu akal budi (verstand), rasio (vernunft) dan pengalaman indrawi. Selain itu, karya Kant yang terkenal tentang kritisisme adalah:
1.    Critique of Pure Reason (1781) (kritik atas rasio murni)
Adapun  inti  dari  isi buku yang  berjudul Kritik atas Rasio Murni  adalah sebagai berikut:
a)   Kritik atas akal murni menghasilkan skeptisisme yang beralasan.
b) Tuhan yang sesungguhnya adalah kemerdekaan dalam pengabdian pada yang di cita-citakan. Akal praktis adalah berkuasa dan lebih tinggi dari pada akal teoritis.
c)   Agama dalam ikatan akal terdiri dari moralitas. Kristianitas adalah moralitas yang abadi.
2.    Critique of Practical Reason (1788) (kritik atas rasio praktis)
Rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan, atau dengan lain kata, rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperative kategori. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya agar ketiga hal itu dibuktikan sehingga Kant menyebutnya sebagai ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat itu adalah:
a)    Kebebasan kehendak
b)   Inmoralitas jiwa
c)    Adanya Allah
Dalam kritiknya, Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan bersifat umum, mutlak dan pengertian baru sehingga Kant membedakan tiga aspek putusan. Pertama, putusan analitis a priori, di mana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subyek, karena termasuk di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang). Kedua, putusan sintesis a posteriori, misalnya pernyataan bahwa meja itu bagus di sini predikat dihubungkan dengan subyek berdasakan pengalaman indrawi. Ketiga, putusan sintesis a priori, yang dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang bersifat sintesis, tetapi bersifat a priori juga, misalnya, putusan yang berbunyi segala kejadian mempunyai sebab.
3.    Critique of Judgment (1790) (kritik atas pertimbangan)
Adapun inti dari isi buku yang berjudul Kritik atas Pertimbangan adalah sebagai berikut:
a)    Kritik atas pertimbangan menghubungkan di antara kehendak dan pemahaman.
b)   Kehendak cenderung menuju yang baik, kebenaran adalah objek dari  pemahaman.
c)    Pertimbangan yang terlibat terletak di antara yang benar dan yang baik
d)  Estetika adalah cirinya tidak teoritis maupun praktis, ini adalah gejala yang ada pada dasar subjektif.
e)  Teologi adalah teori tentang fenomena, yang bertujuan: (a) subjektif (menciptakan kesenangan dan keselarasan) dan (b) objektif (menciptakan yang cocok melalui akibat-akibat dari pengalaman).