Rabu, 13 November 2013

FILSAFAT KRITISISME IMMANUEL KANT SEBAGAI PENENGAH ANTARA RASIONALISME DAN EMPIRISME


Kamis, 7 november 2013
Pukul 07.30 – 10.00 di ruang 103 Gedung Lama PPs UNY


Berbicara mengenai perkembangan beberapa aliaran filsafat, kita mengenal tentang “ada” yang dikemukakan oleh Parmenides dan Herakleitos. Parmenides menyatakan bahwa realitas bukan yang berubah dan bergerak menjadi bermacam-macam, melainkan yang “ada” dan bersifat tetap. Hal ini berarti bahwa di dalam realitas ini penuh dengan yang “ada” sehingga tidak ada yang lain termasuk yang “tidak ada”, karena yang “tidak ada” itu di luar jangkauan akal dan tidak dapat dipahami. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada itu (1) satu dan tidak terbagi, (2) kekal dan tidak mungkin ada perubahan, (3) sempurna dan tidak bisa ditambah atau dikurangi, dan (4) mengisi segala tempat. Karena pendapatnya yang mengatakan bahwa yang ada itu ada dan yang tidak ada memang tidak ada, Parmenides dikukuhkan sebagai peletak landasan dasar metafisika. Sedangkan Herakleitos menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak ada sesuatupun yang tetap. Pernyataannya yang terkenal adalah "pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tetap. Dengan demikian, Herakleitos tidak mengakui adanya pengetahuan umum yang bersifat tetap. Ia hanya mengakui kemampuan indra dan menolak kemampuan akal. Karena menurutnya setiap perubahan terjadi dalam realitas konkret, serta dalam ruang dan waktu tertentu. Misalnya, dalam gerakan ruang dan waktu, biji berubah menjadi tumbuhan, menjadi pohon, dan kemudian berubah menjadi makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan sebagainya.

Dengan demikian, “ada” yang bersifat tetap yang dibawa oleh Permenides kemudian menuju kepada idealisme dengan Plato sebagai tokohnya. Idealisme ini kemudian mengarah kepada rasionalisme dengan Rene Descartes sebagai tokohnya, di mana kebenaran menurut rasionalisme itu bersifat koherentisme, konsisten, dan identitas. Sementara “ada” yang sifatnya berubah yang dibawa oleh Herakleitos kemudian menuju kepada realisme dengan Aristoteles sebagai tokohnya. Realisme ini kemudian berkembang menjadi empirisme dengan David Hume sebagai tokohnya, di mana kebenaran menurut empirisme itu bersifat korespondensi dan kontradiksi.

Rasionalisme adalah aliran yang beranggapan bahwa dasar semua pengetahuan itu ada dalam pikiran (berasal dari rasio/akal) sehingga akal merupakan alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Aliran rasionalisme ini dipelopori oleh Rene Descartes yang terkenal dengan ungkapannya Cogito ergo sum atau I think therefore I’m (saya berpikir maka saya ada). Sedangkan Empirisme adalah aliran yang beranggapan bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia itu berasal dari indra (pengalaman) manusia yang meliputi mata, hidung, telinga, kulit dan mulut. Aliran empirisme ini dipelopori oleh David Hume yang terkenal dengan ungkapannya I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Kedua aliran ini sangat bertolak belakang sehingga pada abad ke-18 terjadi konflik yang hebat antara rasionalisme dan empirisme. Kemudian, lahirlah aliran kritisisme yang dipelopori oleh Immanuel Kant, di mana kritisisme itu berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian antara rasionalisme dan empirisme. Untuk menghilangkan konflik di antara rasionalisme dan empirisme, Kant mengadakan pemaduan di antara dua aliran ini dalam hal perumusan kebenaran. Dalam kaitan ini Kant mengatakan bahwa “Pengetahuan merupakan hasil kerjasama dua unsur, yaitu pengalaman dan kearifan akal budi. Pengalaman indrawi merupakan unsur a posteriori (yang datang kemudian), sedangkan akal budi meru­pakan unsur a priori (yang datang lebih dahulu).

Kritisisme adalah aliran yang lahir dari pemikiran Immanuel Kant yang terbentuk sebagai ketidakpuasan atas aliran rasionalisme dan empirisme. Dengan kritisisme, Immanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua aliran yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing aliran benar separuh dan salah separuh. Benar bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indra kita, namun dalam akal kita terdapat faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.

Menurut Immanuel Kant, pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik a priori, yaitu suatu bentuk putusan di mana predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subyek, sehingga mengandung kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Empirisme itu tercermin dalam putusan yang bersifat sintetik a posteriori, yaitu suatu bentuk putusan di mana predikat belum termasuk ke dalam subyek. Meski demikian, sifat sintetik a pesteriori ini memberikan pengetahuan yang baru, namun sifatnya tidak tetap, dan sangat bergantung pada ruang dan waktu sehingga kebenaran di sini sangat bersifat subyektif.

Secara fenomenologis, pengetahuan terbagi menjadi dua yaitu pengetahuan a priori dan pengetahuan a posteriori. Pengetahuan a priori merupakan pengetahuan yang bersumber dari rasio atau akal, sedangkan pengetahuan a posteriori merupakan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman. Sementara metode untuk memperoleh pengetahuan juga dibedakan menjadi dua, yaitu pengetahuan sintetik dan pengetahuan analitik. Pengetahuan sintetik merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang terpisah, sedangkan pengetahuan analitik merupakan hasil analisa. Kombinasi antara sumber dan metode pengetahuan ini melahirkan 4 (empat) jenis pengetahuan, yaitu:
  1. Pengetahuan sintetik a priori, merupaka pengetahuan yang dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan mengabungkan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. 
  2. Pengetahuan sintetik a posteriori, merupakan pengetahuan  yang diperoleh setelah ada pengalaman sehingga pengetahuan ini adalah bentuk pengetahuan empiris yang lazim. 
  3. Pengetahuan analitik a priori, yaitu pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang a priori. 
  4. Pengetahuan analitik a posteriori, yaitu pengetahuan yang dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu, serta diperoleh setelah adanya pengalaman.
Dengan keempat sumber dan metode mengetahui tersebut, Kant mencoba membuktikan bahwa kemampuan rasio dan pengalaman tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berada di dalam kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Rasio memiliki kemampuan menangkap kebenaran pengetahuan secara umum, tetapi lemah dan kabur terhadap pengetahuan konkret khusus. Sebaliknya, pengalaman memiliki kekuatan mengenali setiap hal yang khusus, tetapi kabur terhadap prinsip-prinsip umum. Dengan demikian, Immanuel Kant menyatakan bahwa segala macam pengetahuan itu diperoleh dari pemikiran dan pengalaman atau dalam bahasa filsafat disebut sebagai analitik a priori (teori) dan sintetik a posteriori (kerja nyata), sehingga dapat disebut sebagai sintetik a priori.

Immanuel Kant merupakan filsuf modern yang paling berpengaruh. Pemikirannya yang analisis dan tajam memasang patok-patok yang mau tak mau menjadi acuan bagi segenap pemikiran filosofis kemudian, terutama dalam bidang epistimologi, metafisika, dan etika. Dari pertentangan antara Empirisme dan Rasionalisme, Kant mengemukakan tiga pembedaan perumusan kebenaran, yaitu akal budi (verstand), rasio (vernunft) dan pengalaman indrawi. Selain itu, karya Kant yang terkenal tentang kritisisme adalah:
1.    Critique of Pure Reason (1781) (kritik atas rasio murni)
Adapun  inti  dari  isi buku yang  berjudul Kritik atas Rasio Murni  adalah sebagai berikut:
a)   Kritik atas akal murni menghasilkan skeptisisme yang beralasan.
b) Tuhan yang sesungguhnya adalah kemerdekaan dalam pengabdian pada yang di cita-citakan. Akal praktis adalah berkuasa dan lebih tinggi dari pada akal teoritis.
c)   Agama dalam ikatan akal terdiri dari moralitas. Kristianitas adalah moralitas yang abadi.
2.    Critique of Practical Reason (1788) (kritik atas rasio praktis)
Rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan, atau dengan lain kata, rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperative kategori. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya agar ketiga hal itu dibuktikan sehingga Kant menyebutnya sebagai ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat itu adalah:
a)    Kebebasan kehendak
b)   Inmoralitas jiwa
c)    Adanya Allah
Dalam kritiknya, Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan bersifat umum, mutlak dan pengertian baru sehingga Kant membedakan tiga aspek putusan. Pertama, putusan analitis a priori, di mana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subyek, karena termasuk di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang). Kedua, putusan sintesis a posteriori, misalnya pernyataan bahwa meja itu bagus di sini predikat dihubungkan dengan subyek berdasakan pengalaman indrawi. Ketiga, putusan sintesis a priori, yang dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang bersifat sintesis, tetapi bersifat a priori juga, misalnya, putusan yang berbunyi segala kejadian mempunyai sebab.
3.    Critique of Judgment (1790) (kritik atas pertimbangan)
Adapun inti dari isi buku yang berjudul Kritik atas Pertimbangan adalah sebagai berikut:
a)    Kritik atas pertimbangan menghubungkan di antara kehendak dan pemahaman.
b)   Kehendak cenderung menuju yang baik, kebenaran adalah objek dari  pemahaman.
c)    Pertimbangan yang terlibat terletak di antara yang benar dan yang baik
d)  Estetika adalah cirinya tidak teoritis maupun praktis, ini adalah gejala yang ada pada dasar subjektif.
e)  Teologi adalah teori tentang fenomena, yang bertujuan: (a) subjektif (menciptakan kesenangan dan keselarasan) dan (b) objektif (menciptakan yang cocok melalui akibat-akibat dari pengalaman).

Selasa, 15 Oktober 2013

MANUSIA YANG TAK PERNAH SEMPURNA



Kamis, 10 oktober 2013
Pukul 07.30 – 10.00 di ruang 103 Gedung Lama PPs UNY


Fatalisme adalah paham tentang keyakinan bahwa segala sesuatu pasti terjadi menurut caranya sendiri tanpa mempedulikan usaha untuk menghindari atau mencegahnya. Sikap pasrah yang mengarah kepada fatalisme dapat dikategorikan sebagai tingkah laku yang menyimpang. Dilihat dari sisi spiritual, terdapat perbedaan antara pasrah dalam arti fatal dengan berserah diri dalam mengatur keseimbangan antara pasrah dan ikhtiar. Pasrah dalam arti fatal dianggap sebagai sisi negatif yang berarti patah semangat. Sedangkan pasrah dianggap sebagai sisi positif jika kita mau berusaha semaksimal mungkin walaupun dalam keadaan pasrah. Oleh karena itu, berikhtiar sangatlah penting karena jika kita tidak berusaha maka kita tidak akan pernah berubah. Allah sendiri telah menyatakan bahwa nasib suatu kaum bisa berubah kalau mau berusaha, karena kodrat kita sebagai manusia adalah berikhtiar.

Perlu diketahui bahwa arti antara takdir dan ikhtiar itu berbeda. Takdir merupakan sesuatu yang sudah terjadi atau hal yang fatal, sedangkan ikhtiar merupakan sesuatu yang belum terjadi sehingga bisa diusahakan. Dengan demikian, untuk menghadapi pasrah dalam menghadapi cobaan kita harus menetapkan hati kita sebagai komandan dan menetapkan spiritual sebagai basis, payung dan tujuan.

Berbicara mengenai spiritual, sebenarnya kita berbicara mengenai diri sendiri. Kita sebagai manusia harus menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah. Ketidaksempurnaan yang kita miliki harus kita syukuri karena kita menjadi sadar siapa sebenarnya manusia. Jika manusia itu sempurna, maka kehidupan dan ilmu itu tidak berarti karena kesempurnaan manusia yang sudah mengetahui tentang semua alam semesta sehingga tidak menciptakan kedamaian hidup. Ketika kita mengaku sebagai manusia yang sempurna maka kita juga termasuk orang munafik yang tidak pernah bahagia. Selain bersyukur atas ketidaksempurnaan kita, kita juga harus memohon ampun karena manusia adalah tempatnya salah dan dosa. Karena ketidaksempurnaan manusia, maka kita sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam bereksperimen sehingga kita perlu memohon ampun. Dengan demikian, kodrat kita sebagai manusia adalah bersyukur dan mohon ampun.

Kita sebagai makhluk yang tidak sempurna juga harus belajar dan berdoa secara kontinu di manapun dan kapanpun. Belajar merupakan proses atau usaha untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku dalam bentuk pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai yang positif. Sedangkan berdoa merupakan salah satu unsur spiritual dalam filsafat sehingga perlu dilakukan secara terus-menerus tanpa batas waktu.

Dalam usaha manusia untuk mempelajari filsafat, yang terpenting dari belajar filsafat bukanlah mencari jawaban melainkan penjelasan dari kata itu sendiri. Misalnya kata “enak” bisa dikatakan sebagai hedonisme. Padahal kita tahu bahwa hedonisme adalah sikap seseorang yang hanya mengejar kenikmatan dunia. Oleh karena itu, kata hedonisme itu tidak dapat berdiri sendiri. Jika kata nikmat dalam hedonisme itu diturunkan dimensinya, maka kata nikmat identik dengan kata enak, lezat atau nyaman. Seperti halnya tidak ada air yang menjulang tinggi di tengah laut, karena yang ada hanyalah ombak yang tinggi sehingga menyebabkan ada ombak yang rendah dan cekungan datar.

Begitu pula dengan manusia. Kita sering berbuat tidak adil terhadap hal-hal di sekeliling kita, padahal semuanya memiliki hak yang sama untuk diperhatikan. Manusia menjadi tidak sempurna karena hanya bisa melihat satu sisi dan tidak bisa melihat ke seluruh penjuru. Dengan ketidaksempurnaan manusia ini, maka dibutuhkan reduksionisme. Reduksi bisa diartikan dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya karena dapat digunakan dalam struktur dunia yang memiliki bahasa sendiri-sendiri. Reduksi juga sangat penting karena dalam reduksi itu ada hal-hal yang terpilih dan ada hal-hal yang tereliminasi. Dengan mereduksi, maka kita memiliki kemampuan untuk memilih dengan tujuan untuk mendapatkan yang lebih baik. Sedangkan sikap kita terhadap hal-hal yang tereliminasi adalah meminta maaf, sehingga meminta maaf tidak hanya kepada Allah atau sesama makhluk hidup, tetapi juga terhadap benda-benda mati, misalnya meminta maaf kepada ruangan atau makam. Ucapan maaf kepada benda-benda mati ini dimaksudkan pada tata krama karena semuanya harus disikapi dengan sopan santun. Contohnya adalah ketika kita akan masuk ke makam, kita harus mengucapkan salam karena di makam juga ada penghuni yang tidak terlihat. Penghuni yang tidak terlihat itu harus kita yakini karena termasuk kekuasaan Allah.

Hal-hal tertentu yang merupakan kekuasaan Allah itu terkadang tidak dapat kita pecahkan sehingga ketika kita ingin berpikir seperti Socrates yang mendewa-dewakan pikiran maka kita menemui jalan buntu karena hal-hal tersebut hanya diketahui oleh Allah. Ketika kita tidak bisa memecahkan suatu hal, sebenarnya kita sudah mengenal dimensi spiritual yang penuh dengan keyakinan dan keimanan, sehingga ketidakmampuan kita untuk memikirkan sesuatu dengan pikiran merupakan misteri Allah.

Ketidaksempurnaan yang dimiliki manusia juga bisa menyebabkan terjadinya perselisihan. Cara untuk mengatasi perselisihan agar kedua pihak mau berdamai adalah ada kekuasaan yang lebih dari kedua pihak tersebut. Secara filsafat, perselisihan antara dua pihak bisa didamaikan jika ada kekuatan lain, maksudnya ketika ada dua kekuatan yang sama-sama memiliki kekuatan horizontal maka harus ada kekuatan vertikal yang bisa mendamaikannya. Misalnya ketika ada dua ayam jago yang bertempur, maka pertempuran tersebut akan selesai ketika ada harimau yang datang. Kekuatan ayam jago dianggap sebagai kekuatan horizontal, sedangkan kekuatan harimau dianggap sebagai kekuatan vertikal. Begitu pula jika terjadi perselisihan antara dua orang anak. Karena kedua anak tersebut sama-sama memiliki kekuasaan yang sama, maka yang bisa melerainya adalah kekuasaan yang dimiliki orang tua. Dengan demikian, semua hal itu memiliki kekusaan, baik antara orang besar dan kecil, antara orang kaya dan miskin, antara orang tua dan anak, dan seterusnya.

Kekuasaan juga memiliki dimensi sehingga dimensi kuasa perlu digunakan dalam filsafat. Misalnya, ketika menghadapi kejahatan maka kuasa spiritual itu diperlukan. Dengan kuasa spiritual, maka tangisan dan doa bisa mengalahkan kejahatan. Perlu diingat, bahwa senjata tidak harus dilawan dengan senjata. Ketika senjata dilawan dengan senjata, maka yang terjadi justru perselisihan yang berujung pada kesengsaraan. Dengan demikian, hubungan antara dunia yang satu dengan dunia yang lain sangat penting karena berfungsi untuk mengasah keterampilan berkomunikasi antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain. Contoh berkomunikasi dengan yang tidak terlihat adalah permainan kuda lumping. Dalam permainan kuda lumping, seringkali terjadi kejadian di luar pikiran manusia, misalnya tidak keluar darah ketika ditusuk paku atau tidak terjadi apa-apa ketika menginjak bara api dan pecahan kaca. Kejadian tersebut sebenarnya bisa dicapai dengan doa yang intensif dan ekstensif. Ketika hati kita terjaga karena doa maka hal-hal di luar doa adalah unsur-unsur negatif (godaan setan). Untuk mengetahui keberadaan negatif kita tidak memerlukan logika tetapi memerlukan spiritual dan pengalaman. Di sinilah pentingnya doa, karena jika kita hanya menggunakan logika, maka pikiran kita tidak akan pernah sampai untuk memikirkannya. Contoh lain tentang pentingnya doa adalah doa bisa dijadikan sebagai obat. Bagi warga nahdliyin, berobat spiritual bukanlah sikap syirik karena tujuan dari berobat spiritual adalah mengusir unsur negatif melalui unsur positif, maksudnya kita membuang kotoran (negatif) dengan cara berdoa (positif).

Filsafat pun memiliki dimensi sehingga berfilsafat itu bisa memikirkan tapi belum tentu bisa melaksanakannya, karena dalam berfilsafat itu dibutuhkan kesadaran. Kesadaran manusia akan ketidaksempurnaan manusia juga menyebabkan tidak ada manusia yang bisa berdiri tegak di setiap dimensi. Segala hal ada dimensinya masing-masing, misalnya menulis tesis merupakan dimensi ilmiah sehingga tulisan dalam tesis juga harus disesuaikan dengan dimensinya.

Rabu, 25 September 2013

REFLEKSI 1 : FILSAFAT ILMU

Kamis, 19 September 2013
Pukul 07.30 – 10.00 di ruang 103 Gedung Lama PPs UNY


Berfilsafat merupakan salah satu pemikiran manusia yang memiliki peran penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dengan berfilsafat orang akan mempunyai pedoman untuk bersikap dan bertindak secara sadar dalam menghadapi gejala-gejala yang timbul dalam alam dan masyarakat. Untuk belajar berfilsafat, orang harus mempelajari filsafat. Cara belajar filsafat yang benar dan terarah adalah disesuaikan dengan konteks. Contoh: orang Islam menggunakan filsafat orang Islam, orang Kristen menggunakan filsafat orang Kristen, demikian pula dengan yang lainnya.

Berfilsafat berarti berpikir, tetapi tidak semua berpikir dapat dikategorikan sebagai berfilsafat. Hal ini karena filsafat menghendaki olah pikir yang sadar. Manusia mulai berfilsafat kalau ia menyadari betapa lemah dan kecil dirinya dibanding dengan alam semesta di sekelilingnya. Semakin manusia terpukau oleh ketakterhinggaan sekelilingnya, semakin ia heran akan eksistensinya (keberadaan). Oleh karena itu, kesadaran membawa manusia menugaskan pikirannya untuk bekerja sesuai dengan aturan dan hukum-hukum yang ada, serta berusaha menyerap semua yang berasal dari alam, baik yang berasal dari dalam dirinya atau di luarnya. Dalam kehidupan sehari-hari secara sadar atau tidak kita telah berfilsafat, karena apa yang telah kita ucapkan atau kita lakukan setiap harinya adalah filsafat itu sendiri. Tapi banyak orang yang tidak suka dengan filsafat, padahal rasa tidak sukanya terhadap filsafat itu telah menunjukkan bahwa dirinya telah berfilsafat.

Berfilsafat juga merupakan olah pikir yang terbuka secara spiritual. Seperti halnya orang Indonesia yang menggunakan falsafah Pancasila sebagai fondasi dan muara filsafat. Kita sebagai orang Indonesia yang berPancasila dan beragama menganggap bahwa spiritual itu kedudukannya paling tinggi, tetapi juga paling mendasar. Dengan berfilsafat, kita menggunakan pikiran yang reflektif. Refleksi itu artinya mengenal, mengerti, dan mengungkapkan kembali dengan kalimat sendiri. Filsafat itu pada intinya mempelajari tata cara, seperti halnya dengan beribadah sehingga tata cara beribadah itu adalah ibadah itu sendiri.

Berfilsafat membuat kita belajar menjadi peka karena kita menjadi paham tentang dimensi ruang dan waktu. Sebenarnya ruang dan waktu itu bisa dimanipulasi, tergantung satuan yang dipakai. Contoh manipulasi ruang adalah ketika sholat kita membayangkan ada Ka’bah di hadapan kita. Sedangkan contoh manipulasi waktu adalah jika kita mengibaratkan 1 detik adalah 1000 tahun yang lalu, maka Plato bisa dikatakan baru meninggal kemarin sore. Oleh karena itu, ketika ada pertanyaan “kita dari mana?” Sebenarnya yang dicari bukanlah jawaban namun penjelasan dari jawaban itu sendiri. Kita bukan berasal dari tanah namun berasal dari masa lalu. Namun kita juga bisa mengatakan bahwa kita berasal dari masa depan, artinya jika sikap, perasaan dan pikiran sesuai dengan cita – cita yang akan kita capai. Contoh yang lain adalah ketika membangun sebuah gedung bertingkat itu bukan dari bawah tetapi dari atas karena material itu ditancapkan dari atas. Itulah pola pikir filsafat.

Objek filsafat meliputi dua hal yaitu formal (wadah) dan material (isi) tentang yang ada dan yang mungkin ada. Yang mungkin ada menjadi ada setelah dipikirkan, karena dia sudah ada dalam pikiran kita. Dalam berfilsafat, seseorang harus menjadikan hati atau spiritualnya sebagai landasan akan segala tindakan dan ucapan. Hati atau spiritual diposisikan di tempat tertinggi dibandingkan dengan pikiran dan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pikiran Rene Descartes yaitu cogito ergo sum, artinya "aku berpikir maka aku ada", maksudnya bahwa seseorang itu ada jika berpikir. Yang membedakan antara mimpi dan kenyataan adalah “ada”. Untuk menjadi ada, kita harus banyak membaca karena membaca merupakan cara berfilsafat dengan proses yang sangat luar biasa dari yang mungkin ada menjadi ada. Dengan membaca, kita ada dalam pikiran kita sendiri.

Kata “ada” di sini dapat diurai menjadi komponen ada, mengada dan pengada. Mengada itu prosesnya dan pengada itu hasilnya. Tetapi ada, mengada dan pengada itu sifatnya dinamis karena pengada bisa menjadi mengada, bisa menjadi ada, juga mengada bisa menjadi pengada atau ada. Kita sebagai mahasiswa kalau tidak berusaha tapi tiba-tiba ada, maka dicurigai plagiat. Sedangkan kalau tidak ada hasilnya maka bukan mahasiswa, sehingga sebagai mahasiswa harus ada, mengada dan pengada.

Cara berpikir dalam berfilsafat yaitu secara intensif dan ekstensif. Intensif berarti sedalam-dalamnya, sedangkan ekstensif berarti seluas-luasnya. Nol di sini dianggap belum ada. Oleh karena itu filsafat akan membahas suatu hal dari segala aspeknya yang mendalam dan meluas. Dari pernyataan ini, sering dikatakan bahwa kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif, karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja, sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, dan filsafat merupakan hakekat dari ilmu.

Alat yang dipakai untuk belajar filsafat adalah bahasa, namun bahasa yang dipakai adalah bahasa analog. Analog itu tidak sekedar kiasan, karena analog itu lebih tinggi dari pada kiasan. Tanpa bahasa analog, kita tidak bisa berfilsafat karena bahasa analog mampu mengkomunikasikan unsur-unsur dalam dimensi yang berbeda. Tanpa analog, bahasa itu mempunyai kelemahan. Satu kata bisa bermakna ganda atau satu makna mempunyai banyak kata. Dengan bahasa analog, kebudayaan juga bisa berkembang. Karena pentingnya bahasa analog dalam berfilsafat, maka orang yang berilmu adalah orang yang mampu mengerti tata krama dan unggah-ungguh karena tata krama itu adalah ilmu. Sedangkan orang yang tidak berbudaya dianggap sebagai orang primitif yang bisa tersingkirkan dan terisolasi. Contoh: pemakaian kata mantan lebih pantas dari pada kata bekas.

Istilah nomena dalam filsafat bukanlah paham tetapi sebuah pembagian atau kriteria. Imanuel Kant membagi sesuatu itu menjadi dua yaitu fenomena dan nomena. Fenomena merupakan yang bisa dilihat dengan indra, sedangkan nomena adalah yang tidak bisa dilihat dengan indra, namun bisa dipikirkan. Oleh karena itu kita tidak tahu dan tidak dapat mengetahui penjelasan mengenai keberadaan dari nomena, karena konsep murni dari nomena adalah sebuah intuisi murni yang terlepas dari fenomena yang dialami. Meskipun nomena tidak mampu diketahui, namun nomena harus tetap ada sebagai postulat, sebagai tuntutan moral dan sebagai fondasi nilai-nilai ideal. Contoh nomena adalah tentang adanya arwah. Arwah tidak bisa dilihat namun pernah dipikirkan sehingga arwah itu ada.

Metafisika adalah makna dibalik sesuatu. Meta artinya setelah. Secara tidak sadar, setiap orang mengalami metafisika. Contoh angka 4 merupakan fisik, namun metafisiknya adalah nilai yang lebih dari 3. Sehingga metafisika bisa dikatakan bahwa dibalik makna ada makna. Dalam belajar matematika pun kita belajar metafisika, misalnya kita mengetahui makna dari sebuah rumus dan bukan menghafalkan rumus.

Mengerti tapi tidak bisa bicara (menjelaskan) disebut intuisi. Maksudnya bahwa tidak ada orang yang bisa mendefinisikan atau semua orang bisa mandefinisikannya. Intuisi digunakan untuk meningkatkan dimensi pikir. Belajar intuisi memang sering dilakukan oleh anak kecil, namun orang dewasa juga menggunakan intuisi dalam meningkatkan dimensi pikir. Intuisi ini akan mempengaruhi pola pikir seseorang, misalnya pole pikir guru dalam memandang matematika sehingga mempengaruhi cara guru dalam membelajarkan matematika. Guru yang menganggap matematika hanya merupakan kumpulan angka-angka dan rumus-rumus merupakan tipe guru yang hanya mengajarkan matematika, bukannya membelajarkan matematika.



PERTANYAAN
  1. Apa yang akan terjadi jika dalam berfilsafat melebihi batas spiritual?
  2. Apakah meningkatkan dimensi pikir dalam berfilsafat sama dengan meningkatkan dimensi pikir matematika?
  3. Bagaimana agar kita bisa cepat memahami kata-kata dalam elegi?