Selasa, 15 Oktober 2013

MANUSIA YANG TAK PERNAH SEMPURNA



Kamis, 10 oktober 2013
Pukul 07.30 – 10.00 di ruang 103 Gedung Lama PPs UNY


Fatalisme adalah paham tentang keyakinan bahwa segala sesuatu pasti terjadi menurut caranya sendiri tanpa mempedulikan usaha untuk menghindari atau mencegahnya. Sikap pasrah yang mengarah kepada fatalisme dapat dikategorikan sebagai tingkah laku yang menyimpang. Dilihat dari sisi spiritual, terdapat perbedaan antara pasrah dalam arti fatal dengan berserah diri dalam mengatur keseimbangan antara pasrah dan ikhtiar. Pasrah dalam arti fatal dianggap sebagai sisi negatif yang berarti patah semangat. Sedangkan pasrah dianggap sebagai sisi positif jika kita mau berusaha semaksimal mungkin walaupun dalam keadaan pasrah. Oleh karena itu, berikhtiar sangatlah penting karena jika kita tidak berusaha maka kita tidak akan pernah berubah. Allah sendiri telah menyatakan bahwa nasib suatu kaum bisa berubah kalau mau berusaha, karena kodrat kita sebagai manusia adalah berikhtiar.

Perlu diketahui bahwa arti antara takdir dan ikhtiar itu berbeda. Takdir merupakan sesuatu yang sudah terjadi atau hal yang fatal, sedangkan ikhtiar merupakan sesuatu yang belum terjadi sehingga bisa diusahakan. Dengan demikian, untuk menghadapi pasrah dalam menghadapi cobaan kita harus menetapkan hati kita sebagai komandan dan menetapkan spiritual sebagai basis, payung dan tujuan.

Berbicara mengenai spiritual, sebenarnya kita berbicara mengenai diri sendiri. Kita sebagai manusia harus menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah. Ketidaksempurnaan yang kita miliki harus kita syukuri karena kita menjadi sadar siapa sebenarnya manusia. Jika manusia itu sempurna, maka kehidupan dan ilmu itu tidak berarti karena kesempurnaan manusia yang sudah mengetahui tentang semua alam semesta sehingga tidak menciptakan kedamaian hidup. Ketika kita mengaku sebagai manusia yang sempurna maka kita juga termasuk orang munafik yang tidak pernah bahagia. Selain bersyukur atas ketidaksempurnaan kita, kita juga harus memohon ampun karena manusia adalah tempatnya salah dan dosa. Karena ketidaksempurnaan manusia, maka kita sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam bereksperimen sehingga kita perlu memohon ampun. Dengan demikian, kodrat kita sebagai manusia adalah bersyukur dan mohon ampun.

Kita sebagai makhluk yang tidak sempurna juga harus belajar dan berdoa secara kontinu di manapun dan kapanpun. Belajar merupakan proses atau usaha untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku dalam bentuk pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai yang positif. Sedangkan berdoa merupakan salah satu unsur spiritual dalam filsafat sehingga perlu dilakukan secara terus-menerus tanpa batas waktu.

Dalam usaha manusia untuk mempelajari filsafat, yang terpenting dari belajar filsafat bukanlah mencari jawaban melainkan penjelasan dari kata itu sendiri. Misalnya kata “enak” bisa dikatakan sebagai hedonisme. Padahal kita tahu bahwa hedonisme adalah sikap seseorang yang hanya mengejar kenikmatan dunia. Oleh karena itu, kata hedonisme itu tidak dapat berdiri sendiri. Jika kata nikmat dalam hedonisme itu diturunkan dimensinya, maka kata nikmat identik dengan kata enak, lezat atau nyaman. Seperti halnya tidak ada air yang menjulang tinggi di tengah laut, karena yang ada hanyalah ombak yang tinggi sehingga menyebabkan ada ombak yang rendah dan cekungan datar.

Begitu pula dengan manusia. Kita sering berbuat tidak adil terhadap hal-hal di sekeliling kita, padahal semuanya memiliki hak yang sama untuk diperhatikan. Manusia menjadi tidak sempurna karena hanya bisa melihat satu sisi dan tidak bisa melihat ke seluruh penjuru. Dengan ketidaksempurnaan manusia ini, maka dibutuhkan reduksionisme. Reduksi bisa diartikan dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya karena dapat digunakan dalam struktur dunia yang memiliki bahasa sendiri-sendiri. Reduksi juga sangat penting karena dalam reduksi itu ada hal-hal yang terpilih dan ada hal-hal yang tereliminasi. Dengan mereduksi, maka kita memiliki kemampuan untuk memilih dengan tujuan untuk mendapatkan yang lebih baik. Sedangkan sikap kita terhadap hal-hal yang tereliminasi adalah meminta maaf, sehingga meminta maaf tidak hanya kepada Allah atau sesama makhluk hidup, tetapi juga terhadap benda-benda mati, misalnya meminta maaf kepada ruangan atau makam. Ucapan maaf kepada benda-benda mati ini dimaksudkan pada tata krama karena semuanya harus disikapi dengan sopan santun. Contohnya adalah ketika kita akan masuk ke makam, kita harus mengucapkan salam karena di makam juga ada penghuni yang tidak terlihat. Penghuni yang tidak terlihat itu harus kita yakini karena termasuk kekuasaan Allah.

Hal-hal tertentu yang merupakan kekuasaan Allah itu terkadang tidak dapat kita pecahkan sehingga ketika kita ingin berpikir seperti Socrates yang mendewa-dewakan pikiran maka kita menemui jalan buntu karena hal-hal tersebut hanya diketahui oleh Allah. Ketika kita tidak bisa memecahkan suatu hal, sebenarnya kita sudah mengenal dimensi spiritual yang penuh dengan keyakinan dan keimanan, sehingga ketidakmampuan kita untuk memikirkan sesuatu dengan pikiran merupakan misteri Allah.

Ketidaksempurnaan yang dimiliki manusia juga bisa menyebabkan terjadinya perselisihan. Cara untuk mengatasi perselisihan agar kedua pihak mau berdamai adalah ada kekuasaan yang lebih dari kedua pihak tersebut. Secara filsafat, perselisihan antara dua pihak bisa didamaikan jika ada kekuatan lain, maksudnya ketika ada dua kekuatan yang sama-sama memiliki kekuatan horizontal maka harus ada kekuatan vertikal yang bisa mendamaikannya. Misalnya ketika ada dua ayam jago yang bertempur, maka pertempuran tersebut akan selesai ketika ada harimau yang datang. Kekuatan ayam jago dianggap sebagai kekuatan horizontal, sedangkan kekuatan harimau dianggap sebagai kekuatan vertikal. Begitu pula jika terjadi perselisihan antara dua orang anak. Karena kedua anak tersebut sama-sama memiliki kekuasaan yang sama, maka yang bisa melerainya adalah kekuasaan yang dimiliki orang tua. Dengan demikian, semua hal itu memiliki kekusaan, baik antara orang besar dan kecil, antara orang kaya dan miskin, antara orang tua dan anak, dan seterusnya.

Kekuasaan juga memiliki dimensi sehingga dimensi kuasa perlu digunakan dalam filsafat. Misalnya, ketika menghadapi kejahatan maka kuasa spiritual itu diperlukan. Dengan kuasa spiritual, maka tangisan dan doa bisa mengalahkan kejahatan. Perlu diingat, bahwa senjata tidak harus dilawan dengan senjata. Ketika senjata dilawan dengan senjata, maka yang terjadi justru perselisihan yang berujung pada kesengsaraan. Dengan demikian, hubungan antara dunia yang satu dengan dunia yang lain sangat penting karena berfungsi untuk mengasah keterampilan berkomunikasi antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain. Contoh berkomunikasi dengan yang tidak terlihat adalah permainan kuda lumping. Dalam permainan kuda lumping, seringkali terjadi kejadian di luar pikiran manusia, misalnya tidak keluar darah ketika ditusuk paku atau tidak terjadi apa-apa ketika menginjak bara api dan pecahan kaca. Kejadian tersebut sebenarnya bisa dicapai dengan doa yang intensif dan ekstensif. Ketika hati kita terjaga karena doa maka hal-hal di luar doa adalah unsur-unsur negatif (godaan setan). Untuk mengetahui keberadaan negatif kita tidak memerlukan logika tetapi memerlukan spiritual dan pengalaman. Di sinilah pentingnya doa, karena jika kita hanya menggunakan logika, maka pikiran kita tidak akan pernah sampai untuk memikirkannya. Contoh lain tentang pentingnya doa adalah doa bisa dijadikan sebagai obat. Bagi warga nahdliyin, berobat spiritual bukanlah sikap syirik karena tujuan dari berobat spiritual adalah mengusir unsur negatif melalui unsur positif, maksudnya kita membuang kotoran (negatif) dengan cara berdoa (positif).

Filsafat pun memiliki dimensi sehingga berfilsafat itu bisa memikirkan tapi belum tentu bisa melaksanakannya, karena dalam berfilsafat itu dibutuhkan kesadaran. Kesadaran manusia akan ketidaksempurnaan manusia juga menyebabkan tidak ada manusia yang bisa berdiri tegak di setiap dimensi. Segala hal ada dimensinya masing-masing, misalnya menulis tesis merupakan dimensi ilmiah sehingga tulisan dalam tesis juga harus disesuaikan dengan dimensinya.