Kamis, 7 november 2013
Pukul 07.30 – 10.00 di ruang 103 Gedung Lama PPs UNY
Berbicara mengenai perkembangan beberapa aliaran filsafat, kita
mengenal tentang “ada” yang dikemukakan oleh Parmenides dan Herakleitos. Parmenides
menyatakan bahwa realitas bukan yang berubah dan bergerak menjadi bermacam-macam,
melainkan yang “ada” dan bersifat tetap. Hal ini berarti bahwa di dalam realitas
ini penuh dengan yang “ada” sehingga tidak ada yang lain termasuk yang “tidak
ada”, karena yang “tidak ada” itu di luar jangkauan akal dan tidak dapat
dipahami. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada itu (1) satu dan
tidak terbagi, (2) kekal dan tidak mungkin ada perubahan, (3) sempurna dan
tidak bisa ditambah atau dikurangi, dan (4) mengisi segala tempat. Karena
pendapatnya yang mengatakan bahwa yang ada itu ada dan yang tidak ada memang
tidak ada, Parmenides dikukuhkan sebagai peletak landasan dasar metafisika.
Sedangkan Herakleitos menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api
adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja
berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos
berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak ada sesuatupun yang tetap.
Pernyataannya yang terkenal adalah "pantarhei kai uden menei" yang
artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tetap. Dengan demikian,
Herakleitos tidak mengakui adanya pengetahuan umum yang bersifat tetap. Ia
hanya mengakui kemampuan indra dan menolak kemampuan akal. Karena menurutnya
setiap perubahan terjadi dalam realitas konkret, serta dalam ruang dan waktu
tertentu. Misalnya, dalam gerakan ruang dan waktu, biji berubah menjadi
tumbuhan, menjadi pohon, dan kemudian berubah menjadi makanan, minuman,
pakaian, perumahan, dan sebagainya.
Dengan demikian, “ada” yang
bersifat tetap yang dibawa oleh Permenides kemudian menuju kepada idealisme
dengan Plato sebagai tokohnya. Idealisme ini kemudian mengarah kepada
rasionalisme dengan Rene Descartes sebagai tokohnya, di mana kebenaran menurut
rasionalisme itu bersifat koherentisme, konsisten, dan identitas. Sementara “ada”
yang sifatnya berubah yang dibawa oleh Herakleitos kemudian menuju kepada
realisme dengan Aristoteles sebagai tokohnya. Realisme ini kemudian berkembang
menjadi empirisme dengan David Hume sebagai tokohnya, di mana kebenaran menurut
empirisme itu bersifat korespondensi dan kontradiksi.
Rasionalisme adalah aliran yang beranggapan bahwa dasar semua pengetahuan
itu ada dalam pikiran (berasal dari rasio/akal) sehingga akal merupakan alat
terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Aliran rasionalisme ini dipelopori
oleh Rene Descartes yang terkenal dengan ungkapannya Cogito ergo sum atau I
think therefore I’m (saya berpikir maka saya ada). Sedangkan Empirisme
adalah aliran yang beranggapan bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia itu
berasal dari indra (pengalaman) manusia yang meliputi mata, hidung, telinga,
kulit dan mulut. Aliran empirisme ini dipelopori oleh David Hume yang terkenal
dengan ungkapannya I never catch my
self at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi
pada setiap pengalaman saya). Kedua aliran ini sangat bertolak belakang
sehingga pada abad ke-18 terjadi konflik yang hebat antara rasionalisme dan
empirisme. Kemudian, lahirlah aliran kritisisme yang dipelopori oleh Immanuel
Kant, di mana kritisisme itu berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian
antara rasionalisme dan empirisme. Untuk menghilangkan konflik di antara rasionalisme dan empirisme, Kant mengadakan pemaduan
di antara dua aliran ini dalam hal perumusan kebenaran. Dalam kaitan ini Kant
mengatakan bahwa “Pengetahuan merupakan hasil kerjasama dua unsur, yaitu
pengalaman dan kearifan akal budi. Pengalaman indrawi merupakan unsur a
posteriori (yang datang kemudian), sedangkan akal budi merupakan unsur a
priori (yang datang lebih dahulu).
Kritisisme adalah aliran yang lahir dari pemikiran Immanuel Kant yang
terbentuk sebagai ketidakpuasan atas aliran rasionalisme dan empirisme. Dengan
kritisisme, Immanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua aliran
yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing aliran benar
separuh dan salah separuh. Benar bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal
dari indra kita, namun dalam akal kita terdapat faktor-faktor yang menentukan
bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam
manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.
Menurut Immanuel Kant, pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme
tercermin dalam putusan yang bersifat analitik a priori, yaitu suatu bentuk
putusan di mana predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subyek,
sehingga mengandung kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan sesuatu
yang baru. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Empirisme itu tercermin
dalam putusan yang bersifat sintetik a posteriori, yaitu suatu bentuk putusan
di mana predikat belum termasuk ke dalam subyek. Meski demikian, sifat sintetik
a pesteriori ini memberikan pengetahuan yang baru, namun sifatnya tidak tetap,
dan sangat bergantung pada ruang dan waktu sehingga kebenaran di sini sangat bersifat subyektif.
Secara fenomenologis, pengetahuan terbagi menjadi dua yaitu pengetahuan a
priori dan pengetahuan a posteriori. Pengetahuan a priori merupakan pengetahuan
yang bersumber dari rasio atau akal, sedangkan pengetahuan a posteriori
merupakan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman. Sementara metode untuk
memperoleh pengetahuan juga dibedakan menjadi dua, yaitu pengetahuan sintetik
dan pengetahuan analitik. Pengetahuan sintetik merupakan hasil keadaan yang
mempersatukan dua hal yang terpisah, sedangkan pengetahuan analitik merupakan
hasil analisa. Kombinasi antara sumber dan metode pengetahuan ini melahirkan 4
(empat) jenis pengetahuan, yaitu:
- Pengetahuan sintetik a priori, merupaka pengetahuan yang dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan mengabungkan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu.
- Pengetahuan sintetik a posteriori, merupakan pengetahuan yang diperoleh setelah ada pengalaman sehingga pengetahuan ini adalah bentuk pengetahuan empiris yang lazim.
- Pengetahuan analitik a priori, yaitu pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang a priori.
- Pengetahuan analitik a posteriori, yaitu pengetahuan yang dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu, serta diperoleh setelah adanya pengalaman.
Dengan keempat sumber dan metode mengetahui tersebut, Kant mencoba
membuktikan bahwa kemampuan rasio dan pengalaman tidak bisa dipisahkan.
Keduanya saling berada di dalam kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Rasio
memiliki kemampuan menangkap kebenaran pengetahuan secara umum, tetapi lemah
dan kabur terhadap pengetahuan konkret khusus. Sebaliknya, pengalaman memiliki
kekuatan mengenali setiap hal yang khusus, tetapi kabur terhadap
prinsip-prinsip umum. Dengan demikian, Immanuel Kant menyatakan bahwa segala macam pengetahuan itu diperoleh
dari pemikiran dan pengalaman atau dalam bahasa filsafat disebut sebagai analitik
a priori (teori) dan sintetik a posteriori (kerja nyata), sehingga dapat
disebut sebagai sintetik a priori.
Immanuel Kant merupakan filsuf modern yang paling berpengaruh. Pemikirannya
yang analisis dan tajam memasang patok-patok yang mau tak mau menjadi acuan
bagi segenap pemikiran filosofis kemudian, terutama dalam bidang epistimologi,
metafisika, dan etika. Dari pertentangan
antara Empirisme dan Rasionalisme,
Kant mengemukakan tiga pembedaan perumusan kebenaran, yaitu akal budi (verstand),
rasio (vernunft) dan pengalaman indrawi. Selain itu, karya Kant yang
terkenal tentang kritisisme adalah:
1.
Critique of Pure Reason (1781) (kritik atas rasio murni)
Adapun inti dari isi buku yang
berjudul Kritik atas Rasio Murni adalah sebagai berikut:
a)
Kritik atas akal murni menghasilkan skeptisisme yang
beralasan.
b) Tuhan yang sesungguhnya adalah kemerdekaan dalam
pengabdian pada yang di cita-citakan. Akal praktis adalah berkuasa dan
lebih tinggi dari pada akal teoritis.
c) Agama dalam ikatan akal terdiri dari moralitas.
Kristianitas adalah moralitas yang abadi.
2.
Critique of Practical Reason (1788) (kritik atas rasio praktis)
Rasio
praktis yaitu rasio yang mengatakan apa
yang harus kita lakukan, atau dengan lain kata, rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant
memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang
disebutnya sebagai imperative kategori. Kant beranggapan bahwa ada tiga
hal yang harus disadari sebaik-baiknya agar ketiga hal itu dibuktikan sehingga Kant
menyebutnya sebagai ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga
postulat itu adalah:
a)
Kebebasan kehendak
b)
Inmoralitas jiwa
c)
Adanya Allah
Dalam
kritiknya, Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan bersifat umum, mutlak dan
pengertian baru sehingga Kant membedakan tiga aspek putusan. Pertama, putusan
analitis a priori, di mana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada
subyek, karena termasuk di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).
Kedua, putusan sintesis a posteriori, misalnya pernyataan bahwa meja itu bagus
di sini predikat dihubungkan dengan subyek berdasakan pengalaman indrawi.
Ketiga, putusan sintesis a priori, yang dipakai sebagai suatu sumber
pengetahuan yang bersifat sintesis, tetapi bersifat a priori juga, misalnya,
putusan yang berbunyi segala kejadian mempunyai sebab.
3.
Critique of Judgment (1790) (kritik atas pertimbangan)
Adapun inti dari isi buku yang berjudul Kritik atas
Pertimbangan adalah sebagai berikut:
a)
Kritik atas pertimbangan menghubungkan di antara
kehendak dan pemahaman.
b)
Kehendak cenderung menuju yang baik, kebenaran adalah
objek dari pemahaman.
c)
Pertimbangan yang terlibat terletak di antara yang
benar dan yang baik
d) Estetika adalah cirinya tidak teoritis maupun praktis,
ini adalah gejala yang ada pada dasar subjektif.
e) Teologi adalah teori tentang fenomena, yang bertujuan:
(a) subjektif (menciptakan kesenangan dan keselarasan) dan (b) objektif
(menciptakan yang cocok melalui akibat-akibat dari pengalaman).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar