MEMBANGUN FILSAFAT
PENDIDIKAN MATEMATIKA
Mata
Kuliah: Filsafat
Ilmu
Dewi
Mardhiyana (13709251043)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
MEMBANGUN
FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA
oleh Dewi Mardhiyana
A. Pendahuluan
Filsafat merupakan ilmu yang
mempelajari hakekat dari suatu objek yang mencakup ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Kajian ontologi menjawab apa sebenarnya objek yang kita pelajari. Kajian
epistemologi mencakup metode atau tata cara dari objek yang kita pelajari.
Sedangkan kajian aksiologi mencakup manfaat apa yang kita dapat dari suatu
objek yang kita pelajari. Objek kajian filsafat tersebut meliputi segala yang
ada dan yang mungkin ada.
Filsafat juga mempelajari dirinya
sendiri. Filsafat mempelajari ontolologi, aksiologi dan epistemologi dari
filsafat itu sendiri. Jadi filsafat mempelajari ontologinya ontologi,
ontologinya aksiologi, ontologinya epistemologi, epistemologinya ontologi,
epistemologinya epistemologi, epistemologinya aksiologi, aksiologinya ontologi,
aksiologinya epistemologi dan aksiologinya aksiologi.
Filsafat
mempelajari ontologinya ontologi, artinya filsafat mempelajari hakekatnya
hakekat. Memikirkan tentang apa yang kita pikirkan atau biasa disebut dengan
metafisik. Jika yang kita pikirkan satu maka monoisme, jika yang kita pikirkan
dua maka dualisme, sedangkan jika yang kita pikirkan banyak maka pluralisme.
Filsafat
mempelajari ontologinya epistemologi, artinya filsafat mempelajari hakekatnya
metode. Apa sebenarnya metode yang kita gunakan itu. Misalnya sebuah tradisi
suatu masyarakat tertentu, maka filsafat mempelajari arti dari sebuah tradisi
tersebut. Dalam pernikahan orang Jawa ada adat tertentu yang harus dilaksanakan
dalam sebuah acara pernikahan dan setiap tata cara tersebut memiliki makna.
Selain tata cara dalam pernikahan yang penuh dengan makna, kesenian Jawa juga
mempunyai berbagai makna, misalnya wayang kulit. Pada zaman dahulu wayang
begitu populer di kalangan masyarakat Jawa, karena wayang merupakan salah satu
hiburan rakyat yang penuh dengan makna, mulai dari tokoh-tokohnya sampai dengan
cerita tentang pewayangan. Wayang merupakan sebuah metode yang digunakan untuk
menyebarkan ajaran tertentu, sehingga para wali juga menggunakan media wayang
sebagai salah satu cara berdakwah dalam menyebarkan ajaran agama Islam.
Filsafat juga mengkaji mengenai hakekat wayang, maka filsafat mempelajari
hakekatnya metode.
Filsafat
mempelajari ontologinya aksiologi, artinya filsafat mempelajari hakekatnya
manfaat. Apa sebenar-benar manfaat itu. Berbagai adat istiadat yang dilakukan
pasti memiliki manfaat. Filsafat mempelajari berbagai manfaat dari adat
istiadat tersebut. Sebagai contoh seperti yang telah dipaparkan sebelumnya
bahwa wayang merupakan sebuah metode penyampaian pesan kepada masyarakat umum,
sehingga wayang memiliki berbagai manfaat bagi masyarakat umum selain sebagai
sarana hiburan, sehingga filsafat juga mempelajari hakekat dari berbagai
manfaat wayang.
Filsafat
mempelajari epistemologinya ontologi, artinya filsafat mempelajari metodenya
hakekat. Untuk mempelajari hakekat dari suatu objek, dibutuhkan metode apa saja
yang digunakan. Misalnya, kalau kita ingin mempelajari hakekat dari wayang,
maka ada metode-metode tertentu yang bisa kita gunakan untuk mempelajarinya.
Filsafat
mempelajari epistemologinya epistemologi, artinya filsafat mempelajari
metodenya metode. Filsafat mempelajari bukti kebenaran dari kebenaran yang ada.
Misalnya, dalam matematika kita mengenal 2+3=5, tetapi dalam filsafat 2+3 belum
tentu 5, sehingga filsafat mempelajari bukti kebenaran dari 2+3 apakah
benar-benar 5.
Filsafat
mempelajari epistemologinya aksiologi, artinya filsafat mempelajari metodenya
manfaat. Filsafat mempelajari sumbernya etik dan estetika. Misalnya untuk
menilai suatu hal baik atau buruk, benar atau salah harus menggunakan dasar
yang kuat.
Filsafat
mempelajari aksiologinya ontologi, artinya filsafat mempelajari manfaatnya
hakekat. Nilai dari suatu ontologi dipelajari dalam filsafat. Misalnya hakekat
tentang ketuhanan. Ketika kita membicarakan hakekat nilai dari hakekat tentang
ketuhanan, hendaknya berada di tempat yang sesuai dan bukan di sembarang
tempat.
Filsafat
mempelajari aksiologinya epistemologi, artinya filsafat mempelajari manfaatnya
metode. Filsafat mengkaji baik buruknya sebuah metode yang digunakan. Misalnya,
seperti fenomena yang terjadi akhir-akhir ini mengenai wayang yang dalangnya
anak kecil. Filafat yang mengkaji mengenai baik atau buruknya dalang cilik, di
mana fenomena dalang cilik hanya meniru kebiasaan, sebenarnya belum
mengembangkan secara kritis. Dalang cilik hanya mencakup separo dunia,
sedangkan separo dunia yang lain adalah pengalaman.
Filsafat
mempelajari aksiologinya aksiologi, artinya filsafat mempelajari manfaatnya
manfaat. Menilai manfaat dari hal-hal yang dinilai baik atau buruk. Setiap hal
pasti memiliki sisi baik dan sisi buruk, dan setiap yang baik ataupun yang
buruk mempunyai makna.
Begitu
luasnya kajian filasafat, maka filsafat berperan penting dalam segala hal,
misalnya dalam membangun dunia, membangun hidup, membangun pengetahuan dan
membangun pendidikan matematika.
B. Filsafat
Membangun Dunia
Dunia filsafat merupakan dunia yang
mengkaji tentang sesuatu yang ada dan mungkin ada. Oleh karena itu apa yang
kita pikirkan dan tidak dapat dipikirkan itulah dunia. Apa yang di sekitar kita
dan di luar lingkungan kita itulah dunia. Dunia memiliki karakteristik dari
komponen-komponennya masing-masing, sebagai contoh dunia pendidikan, dunia
mahasiswa, dunia sekolah, dunia kerja dan masih banyak lagi dunia yang dapat
kita pikirkan. Dalam membangun dunia tersebut, pikiran kita harus dapat
memasuki komponen yang ada pada dunia tersebut. Sehingga untuk membangun dunia
dapat dilakukan dengan hukum “Aku” yaitu di dalam pikiran dan “Bukan Aku” yaitu
di luar pikiran.
Dunia dapat berupa komponen sintesis
dari anti-tesis dan tesis yang terkandung di dalamnya, sehingga identitas dan
kontradiksi dapat membangun dunia karena identitas adalah tesis dan kontradiksi
adalah anti-tesis. Jika kita ingin membangun dunia, maka bangunlah pikiran kita
untuk memikirkan dunia itu. Dunia yang kita bangun pun bukan dunia pada level
material tetapi dunia yang terlepas dari ruang dan waktu yaitu dunia yang
meliputi dimensi material, formal, normatif dan spiritual. Dengan demikian,
segala yang ada dan yang mungkin ada di dunia in menempati ruang dan waktunya
masing-masing, di mana setiap unsur di dunia ini telah diciptakan secara
seimbang. Akibatnya, jika separo dunia adalah ontologi maka separo dunia yang
lain adalah tidak ontologi, jika separo dunia adalah epistemologi maka separo
dunia yang lain adalah tidak epistemologi, jika separo dunia adalah aksiologi
maka separo dunia yang lain adalah aksiologi, jika separo dunia adalah vatal
maka separo dunia yang lain adalah fital, jika separo dunia adalah subjek maka
separo dunia yang lain adalah predikat, jika separo dunia adalah logos maka
separo dunia yang lain adalah mitos, jika separo dunia adalah filsafat maka
separo dunia yang lain adalah penerapannya, jika separo dunia adalah matematika
dan pendidikan matematika, maka separo dunia yang lain adalah penerapannya,
jika separo dunia adalah apa yang kita pikirkan, maka separo dunia yang lain
adalah apa yang kita lakukan.
Ontologi merupakan hakekat dari
sesuatu, sehingga untuk memahami hakekat dari sebuah unsur maka kita perlu
berfikir ekstensif dan intensif. Jika kita membentuk separo dunia dengan
ekstensif maka separo dunia yang lain adalah tidak ekstensif dan jika kita
membentuk separo dunia dengan intensif maka separo dunia yang lain adalah tidak
intensif. Tidak ekstensif dan tidak ekstensif membangun dunia itulah yang tidak
ontologi. Maka sebenar-benar membangun dunia ontologi hanya mencakup separo
dunia, karena separo dunia yang lain adalah tidak ontologi.
Epistemologi adalah metode dalam
mempelajari suatu unsur. Dalam mempelajari sesuatu terkadang ada sumber-sumber
yang mendukung apa yang kita pelajari, tetapi tidak semua hal yang kita
pelajari mempunyai sumber. Maka sebenar-benar membangun dunia epistemologi
hanya mencakup separo dunia, karena separo dunia yang lain adalah tidak
epistemologi.
Aksiologi merupakan manfaat dari
sesuatu yang kita pelajari. Setiap hal yang kita pelajari pasti memiliki unsur
baik atau tidak baik maupun benar atau salah. Untuk memahami bahwa separo dunia
yang kita pelajari adalah aksiologi dan separo dunia yang lain adalah tidak
aksiologi maka kita perlu mengkaji dari dunia-dunia yang lain. Misalnya ketika
kita berbicara mengenai hakekat sebuah objek, maka kita akan bertemu bahwa
hakekat objek tersebut mengandung unsur baik sekaligus buruk dan unsur benar
sekaligus salah. Maka sebenar-benar membangun dunia aksiologi hanya mencakup
separo dunia, karena separo dunia yang lain adalah tidak aksiologi.
Fatal dapat diartikan sebagai
berserah sepenuhnya kepada nasib, sedangkan vital dapat diartikan sebagai hasil
usaha. Ketika kita membangun dunia dengan fatal atau vital maka unsur-unsur
yang lain akan membangun dunianya masing-masing. Misalnya ketika kita berbicara
mengenai fatal dan vital, maka kita perlu memperhatikan bagaimana ontologi
berbicara mengenai fatal dan vital, bagaimana epistemologi berbicara mengenai
fatal dan vital, bagaimana aksiologi berbicara mengenai fatal dan vital. Maka
sebenar-benar membangun dunia dengan fatal dan vital hanya mencakup separo
dunia.
Dalam membangun bahwa dunia adalah
bahasa, kita mengenal bahwa separo dunia yang kita pelajari adalah subjek dan
separo dunia yang lain adalah predikat. Ketika kita berbicara mengenai subjek
dan predikat, maka kita perlu memperhatikan bagaimana ontologi berbicara
mengenai subjek dan predikat, bagaimana epistemologi berbicara mengenai subjek
dan predikat, bagaimana aksiologi berbicara mengenai subjek dan predikat. Maka
sebenar-benar membangun dunia dengan subjek dan predikat hanya mencakup separo
dunia.
Ketika kita ingin membangun dunia
dengan ilmu, maka kita akan berjumpa dengan logos dan mitos. Jarak antara logos
dan mitos sangatlah dekat, sehingga kita harus berhati-hati dengan jebakan
mitos, karena ketika kita merasa sudah memahami ilmu maka pada saat itulah kita
berjumpa dengan mitos. Maka sebenar-benar dunia yang kita bangun tidak akan
terlepas dari logos dan mitos. Jadi ketika kita ingin membangun dunia dengan
ilmu, maka separo dari dunia adalah mitos dan separo yang lain adalah logos.
Dengan demikina, jika kita ingin
membangun dunia dengan filsafat, maka sebenar-benar filsafat yang kita pelajari
hanya mencakup separo dari dunia, dan separo dari dunia yang lain adalah
penerapannya. Begitu pula jika kita ingin membangun dunia dengan matematika dan
pendidikan matematika, maka sebenar-benar matematika dan pendidikan matematika
yang kita pelajari hanya mencakup separo dari dunia, karena separo dari dunia
yang lain adalah penerapannya.
Dalam menjalani hidup ini kita pasti
mempunyai rencana-rencana untuk meraih tujuan hidup kita. Rencana itu lahir
dari sebuah pemikiran. Tetapi tidak semua yang kita rencanakan akan berjalan
seperti apa yang telah kita rencanakan, bahkan terkadang apa yang kita lakukan
justru bertolak belakang dengan rencana awal kita. Maka sebenar-benar apa yang
kita lakukan tidak mencakup semua yang kita rencanakan. Hal ini disebabkan
karena pemikiran kita mencakup segala hal yang ada dan yang mungkin ada. Jadi
untuk membangun dunia kita secara lengkap, maka kita harus mengharmonikan
antara segala yang ada dan yang mungkin ada.
C. Filsafat
Membangun Hidup
Filsafat ilmu
adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang olah pikir yang reflektif. Reflektif
di sini artinya adalah kesadaran diri dan akal sehingga kita merefleksikan
kesadaran diri kita sendiri dan akal kita. Jadi, filsafat adalah refleksi. Berfilsafat juga
merupakan oleh pikir seorang profesional, karena filsafat menuntut kesadaran
dalam multi dimensi. Seseorang yang berfilsafat harus berpikiran terbuka dan
secara ikhlas bersiap diri sebagai pebelajar untuk selalu belajar dan belajar.
Melalui kesediaan untuk selalu belajar dan belajar maka filsafat seseorang akan
hidup atau berkembang. Selalu berkembang atau berubah adalah sebenar-benar
hidup karena pada hakekatnya tidak ada sesuatupun di dunia ini yang tetap atau
sama.
Belajar filsafat hakikatnya adalah
membangun hidup. Persoalan hidup adalah persoalan universal. Persoalan hidup
milik setiap orang. Jadi setiap yang hidup tentu memiliki persoalan. Belajar
filsafat sesungguhnya untuk menjawab persoalan-persoalan dalam hidup, sehingga
kita akan memiliki dorongan untuk memastikan bahwa kita benar-benar melakukan
apa yang inginkan. Filsafat hidup juga dapat menentukan arah, membangkitkan
kesadaran dan mengerakkan diri kita untuk membuat perencanaan-perencanaan guna
merealisasikan sasaran. Hidup ini akan membimbing kita dalam menjalani
kehidupan seperti yang kita inginkan dan butuhkan.
Bagi sebagian orang, filosofi hidup
dapat dijadikan sebagai panutan hidup, agar seseorang dapat hidup dengan baik
dan benar. Adapula sebagian orang yang tidak menghiraukan apa itu tujuan hidup
dan filosofi hidup, sehingga ia hanya hidup mengikuti arus yang mengalir, dan
sebagian orang lagi, terlalu kuat memegang tujuan hidup dan filosofi hidupnya
sehingga membuat ia menjadi keras. Jadi, kesimpulannya ada 3 sifat manusia yang
bisa ditinjau dari filosofi hidupnya, yaitu orang yang lemah, orang yang netral
dan orang yang keras.
Orang yang lemah adalah orang yang
tidak mempunyai tujuan hidup atau prinsip hidup. Ia tidak tahu untuk apa ia
hidup, ia tidak berusaha mengetahui kebenaran di balik fenomena alam ini,
sehingga terkadang baik dan buruk dapat dijalaninya. Orang yang netral adalah
orang yang mempunyai tujuan dan prinsip hidup, tetapi tidak mengukuhinya dengan
kuat. Ia berusaha mencari kebenaran hidup dan hidup dalam kebijakan dan kebenaran,
ia bebas dan netral, tidak kurang dan tidak melampaui, karena ia berada di
tengah-tengah. Sedangkan orang yang kuat adalah orang yang memegang kuat tujuan
dan prinsip hidupnya, sehingga ia mampu melakukan apa saja demi tercapai
tujuannya. Ia terikat oleh filosofinya, ia kuat dan kaku berada di atas
pandangannya, ia merasa lebih unggul dari orang lain dan melebihi semua orang.
Sebuah filosofi hidup bisa
didapatkan dari pemikir-pemikir jenius yang bijaksana, bebas dan terpelajar.
Biasanya orang tersebut dianggap sebagai seorang filsuf atau pelopor kebijakan.
Masing-masing negara memiliki tokoh filosofinya. Orang pertama yang
memperkenalkan filsafat hidup ke dalam ilmu pengetahuan adalah orang Yunani
yang kebetulan pada saat itu negaranya merupakan negara yang bebas dalam
berkarya. Hal ini terbukti dengan banyaknya para filsuf terkenal yang
kebanyakan berasal dari bangsa Yunani, seperti Socrates. Socrateslah yang
paling banyak memberi pengaruh kepada dunia ilmu pengetahuan, sehingga dia
disebut Bapak Filsafat. Menurutnya, jika seseorang tahu kebenaran yang mendasar
tentang segala sesuatu, maka itulah inti pengetahuan.
D. Filsafat
Membangun Pengetahuan
Berfilsafat
merupakan berpikir, sementara berfikir merupakan salah satu ciri penting yang
membedakan manusia dengan hewan. Menurut J.M. Bochenski berfikir,
adalah perkembangan ide dan konsep. Definisi ini nampak sangat sederhana namun
substansinya cukup mendalam. Berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan
kegiatan mental. Bila seseorang secara mental sedang mengikatkan diri
dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang
tersebut bisa dikatakan sedang berfikir. Berarti berfikir merupakan upaya untuk
mencapai pengetahuan. Upaya mengikatkan diri dengan sesuatu merupakan upaya untuk
menjadikan sesuatu itu ada dalam diri seseorang, sehingga dengan berfikir
manusia akan mampu memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu manusia
menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta
mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Sementara itu, Partap
Sing Mehra memberikan definisi berfikir sebagai usaha mencari sesuatu yang
belum diketahui berdasarkan sesuatu yang sudah diketahui. Definisi ini
mengindikasikan bahwa suatu kegiatan berfikir baru mungkin terjadi jika
akal/pikiran seseorang telah mengetahui sesuatu, kemudian sesuatu itu
dipergunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain, di mana sesuatu yang diketahui
itu bisa merupakan data, konsep atau sebuah ide, dan hal ini kemudian berkembang
sehingga diperoleh sesuatu yang diketahui atau bisa juga disebut kesimpulan.
Dengan demikian kedua definisi yang dikemukakan ahli tersebut pada dasarnya
saling melengkapi. Berfikir merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan
dengan pengetahuan tersebut proses berfikir dapat terus berlanjut guna
memperoleh pengetahuan yang baru, dan proses itu tidak berhenti selama upaya
pencarian pengetahuan terus dilakukan.
Menurut Jujun
S Suriasumantri, pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang
diketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya ilmu, Pengetahuan
tentang objek selalu melibatkan dua unsur yakni unsur representasi tetap dan
tak terlukiskan serta unsur penafsiran konsep yang menunjukan respon pemikiran.
Unsur konsep disebut unsur formal, sedangkan unsur tetap adalah unsur material
atau isi. Interaksi antara objek dengan subjek yang menafsirkan, menjadikan
pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas, terarah dan sistematis
sehingga dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Pengetahuan
tumbuh sejalan dengan bertambahnya pengalaman, sehingga diperlukan
informasi yang bermakna guna menggali pemikiran untuk menghadapi realitas dunia
di mana seorang itu hidup.
Dengan demikian,
berfikir dan pengetahuan bagi manusia merupakan instrumen penting untuk
mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya di dunia, karena yang
akan terjadi adalah kemusnahan manusia jika berpikir dan pengetahuan tidak ada.
Untuk membangun pengetahuan, diperlukan konstruktivisme. Jika kita sebagai
seorang yang menggeluti dunia pendidikan tetapi tidak mempelajari filsafat maka
ilmu atau pengetahuan yang telah kita pelajari hanya berhenti di situ saja
dalam membangun logosnya dan tidak bisa berkembang.
E. Filsafat
Membangun Pendidikan Matematika
Sebelum
masuk pada konsep dari pendidikan matematika maka kita harus merujuk pada
filsafatnya terlebih dahulu. Filsafat pendidikan matematika termasuk filsafat
yang membahas proses pendidikan dalam bidang studi matematika. Pendidikan
matematika adalah bidang studi yang mempelajari aspek-aspek sifat dasar dan
sejarah matematika, psikologi belajar dan mengajar matematika, kurikulum
matematika sekolah, baik pengembangan maupun penerapannya di kelas. Filsafat
matematika membentuk filsafat pendidikan matematika, artinya bahwa filsafat
pendidikan matematika didukung oleh filsafat matematika (Martin, 2009: 63).
Oleh karena itu, antara filsafat matematika dan filsafat pendidikan matematika
saling berkaitan sehingga untuk memahami bagaimana proses pembelajaran matematika,
kurikulum pendidikan matematika dan pengembangannya, serta psikologi pendidikan
matematika adalah dengan memahami filsafat matematika.
Menurut
Ernest (1991: 1), filsafat matematika adalah cabang filsafat yang tugasnya
adalah untuk merefleksikan sifat matematika. Filsafat matematika mencakup
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi menyangkut hakekat matematika,
apakah hakekat yang ada dibalik matematika. Epistemologi berkaitan dengan
bagaimana cara menjawab pertanyaan mengenai matematika, cara memperoleh dan
menangkap permasalahan dalam matematika. Sedangkan aksiologi menyangkut tentang
nilai-nilai dalam matematika.
Secara ontologi, filsafat matematika
membicarakan tentang hakekat matematika. Para filsuf matematika menguraikan
hakekat matematika sesuai cara pandangnya masing-masing. Perbedaan pendapat
para filsuf bukan untuk mempertentangkan
tetapi untuk saling melengkapi. Menurut Socrates matematika adalah pertanyaan,
menurut Plato matematika adalah ide, menurut Aristoteles, matematika adalah
pengalaman, menurut Descartes matematika adalah rasional, menurut Kant
matematika adalah sintetik a priori, menurut Hegel matematika itu mensejarah,
menurut Russell matematika adalah logika, menurut Wittgenstain matematika
adalah bahasa, menurut Lakatos matematika adalah kesalahan, menurut Ernest
matematika adalah pergaulan, dan menurut Mill matematika adalah ilmu empiris
yang lahir dari pengalaman masa lalu. Selain tentang pengertian matematika,
ontologis filsafat mengkaji hakekat dari obyek matematika itu. Menurut Plato
obyek matematika adalah benda abstrak yang memiliki refleksi sempurna di dunia
ini seperti segitiga dan bidang. Menurut Socrates obyek matematika adalah hasil
abstraksi dari eksperimen atau percobaan, sehingga melalui interaksi dengan
obyek atau benda riilnya kita dapat membangun atau membentuk konsep
matematisnya.
Secara epistemologi, matematika pada
hakekatnya selalu berusaha mengungkap kebenaran namun dalam sejarah panjangnya,
sejak jaman Renaisance, aspek empiris dari matematika seperti yang dicanangkan
oleh John Stuart Mill ternyata kurang mendapat prospek yang cerah. Matematika
telah berkembang menjadi kegiatan abstraksi yang lebih tinggi di atas kejelasan
pondasinya seperti yang terjadi pada kalkulus infinitas dan bilangan kompleks
yang telah mengambil jarak dari pandangan kaum skeptik. Tetapi pada abad yang
lalu, dengan ditemukannya kontradiksi pada Teori Himpunan, kaum skeptik dan
empiris mulai menggaungkan lagi pandangan-pandangan tentang pondasi matematika.
Kaum pondasionalis epistemologis berusaha meletakkan dasar pengetahuan
matematika dan berusaha menjamin kepastian dan kebenaran matematika, untuk mengatasi
kerancuan dan ketidakpastian dari pondasi matematika yang telah diletakkan
sebelumnya. Perlu dikethaui bahwa di dalam kajian pondasi epistemologis
matematika terdapat pandangan tentang epistemologi standar yang meliputi kajian
tentang kebenaran, kepastian, universalisme, obyektivitas, rasionalitas, dan
sebagainya. Menurut kaum pondasionalisme empiris, dasar dari pengetahuan adalah
lebih dari kebenaran yang diperoleh dari hukum sebab-akibat dari pada
diturunkan dari argumen-argumennya.
Munculnya Teori Pengetahuan dari
Immanuel Kant, sebagai landasan epistemologis dari pengetahuan, dipengaruhi
oleh dua aliran epistemologi yang masing-masing berakar pada pondasi empiris
dan pondasi rasionalis. Menurut kaum pondasionalis empiris, terdapat unsur
dasar pengetahuan di mana nilai kebenarannya lebih dihasilkan oleh hukum
sebab-akibat dari pada dihasilkan oleh argumen-argumennya sehingga mereka
percaya bahwa keberadaan dari kebenaran tersebut disebabkan oleh asumsi bahwa
obyek dari pernyataan yang membawa nilai kebenaran itu. Sementara kaum
pondasionalis rasionalis berusaha mencari sumber dari kegiatan berpikir, yaitu
kegiatan di mana kita dapat menemukan ide dasar dan kebenaran. Kegiatan
tersebut tidak hanya menghasilkan pondasi yang dicari dari pengetahuan tetapi
juga memberikan kepastian epistemologis, yaitu suatu keadaan yang pasti dan
dengan sendirinya benar. Dasar dari ide dan putusan bersifat pasti karena
dihasilkan dari suatu aktivitas yang terang dan jelas sebagai prasyarat
diperolehnya putusan yang dapat diturunkan menjadi putusan-putusan yang
lainnya.
Berkaitan dengan masalah tersebut,
di dalam Teori Pengetahuannya, Immanuel Kant berusaha meletakkan dasar
epistemologis bagi matematika untuk menjamin bahwa matematika memang benar
dapat dipandang sebagai ilmu. Kant menyatakan bahwa metode yang benar untuk
memperoleh kebenaran matematika adalah memperlakukan matematika sebagai
pengetahuan a priori. Menurut Kant, secara spesifik, validitas obyektif dari
pengetahuan matematika diperoleh melalui bentuk a priori dari sensibilitas kita
yang memungkinkan diperolehnya dari pengalaman indrawi.
Kajian aksiologis mempelajari
filosofis hakekat nilai atau value dari matematika. Menurut Hartman, nilai
adalah fenomena atau konsep, di mana nilai sesuatu ditentukan oleh sejauh mana
fenomena atau konsep itu sampai kepada makna atau arti. Menurutnya, nilai
matematika paling sedikit memuat empat dimensi, yaitu matematika mempunyai
nilai karena maknanya, matematika mempunyai nilai karena keunikannya,
matematika mempunyai nilai karena tujuannya, dan matematika mempunyai nilai
karena fungsinya. Tiap-tiap dimensi nilai matematika tersebut selalu terkait
dengan sifat nilai yang bersifat intrinsik, ekstrinsik atau sistemik. Jika
seseorang menguasai matematika hanya untuk dirinya maka pengetahuan
matematikanya bersifat intrinsik; jika dia bisa menerapkan matematika untuk
kehidupan sehari-hari maka pengetahuan matematika bersifat ekstrinsik; dan jika
dia dapat mengembangkan matematika dalam kancah pergaulan masyarakat matematika
maka pengetahuan matematikanya bersifat sistemik.
Nilai matematika yang dapat
diperoleh dari filsafat matematika adalah bahwa matematika adalah suatu ide
yang membantu kita memecahkan masalah. Pemecahan masalah tersebut dapat kita
mulai dengan membuat masalah tersebut sebagai pertanyaan yang harus dijawab.
Masalah-masalah yang ada tersebut merupakan masalahku sehingga pemecahannya
adalah menggunakan pikiranku dan pengalamanku.
Oleh karena itu, untuk membangun
dunia matematika harus dilakukan dengan metode berfikir intensif dan ekstensif.
Metode berfikir intensif adalah metode berfikir yang sedalam-dalamnya, sehingga
tidak ada metode berfikir lain yang mampu berfikir lebih dalam selain
menggunakan metode ini. Sedangkan metode berfikir ekstensif adalah metode
berfikir yang seluas-luasnya, sehingga tidak ada metode berfikir lain yang
dapat digunakan untuk berfikir luas melebihi metode ini.
Menurut Ernest, matematika adalah
pengetahuan yang dibangun (mathematical
knowledge is constructed) bukan ditemukan (discovered). Matematika sebagai ilmu adalah matematika yang utuh
dalam sistem maupun strukturnya yang deduktif aksiomatik. Artinya kebenaran
matematika didapatkan dengan menggunakan penalaran deduktif kemudian disusun
rangkaian kebenaran konsistensi yang menuju kepada kesimpulan akhir. Filsafat
matematika Ernest didasarkan pada asumsi bahwa kebenaran matematika tidak
pernah sama sekali pasti. Selanjutnya Ernest dalam Martin (2009) menyatakan
bahwa faktor paling penting dalam penerimaan masalah yang diusulkan dari pengetahuan
matematika adalah buktinya. Menekankan pada reduksi formal, menjadi proses yang
dipusatkan pada pembuktian. Pembuktian adalah teks naratif, yang juga bagian
dari percakapan atau dialog yang berkelanjutan, sebab mengasumsikan sebuah
respon (Martin, 2009).
Pada awal perkembangannya matematika
merupakan alat untuk menyelesaikan masalah kesulitan hidup sehari-hari melalui
objek-objek alam nyata yang ada di lingkungan sekitar. Kemudian matematika
berkembang melalui abstraksi dan idealisasi menjadi sebuah ilmu. Matematika
sebagai ilmu yang dibangun lebih merupakan proses sosial dibandingkan proses
individual. Hal ini dikarenakan: (1) pemikiran individual mengenai
kesulitan-kesulitan awal yang muncul akan dibentuk dengan komunikasi atau
percakapan, (2) seluruh pemikiran individual yang selanjutnya dibentuk oleh
pemikiran sosial, dan (3) fungsi-fungsi mental adalah kolektif (misalnya
kelompok pemecahan masalah). Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa seluruh proses berfikir dan belajar dibentuk
oleh pengalaman sosial yang dialami oleh setiap individu. Untuk membawa
pengalaman sosial yang bermakna dalam suatu pembelajaran, maka guru harus bisa
memfasilitasi kegiatan pembelajaran tersebut sesuai dengan kebutuhan siswa.
Seperti yang diungkapkan Hoyles in Grouws and Cooney (Marsigit, 2009), mengajar
matematika adalah tentang bagaimana guru memfasilitasi proses belajar dari
siswa dan juga memberikan pengajaran yang baik yang merupakan kombinasi dari
kompetisi subjek, strategi dan gaya mengajar yang fleksibel, serta fokus pada
emosional dan sosial sebagai kebutuhan kognitif siswa.
Filsafat
pendidikan matematika menurut Ernest (Martin, 2009) mencakup tiga hal, yaitu:
(1) tujuan dan nilai pendidikan matematika, (2) teori belajar, dan (3) teori
mengajar.
(1)
Tujuan dan Nilai Pendidikan
Matematika
Tujuan pendidikan matematika hendaknya mencakup keadilan sosial melalui
pengembangan demokrasi pemikiran kritis dalam matematika. Siswa seharusnya
mengembangkan kemampuan yang mereka miliki untuk menganalisis masalah
matematika. Pendidikan matematika hendaknya dapat menguatkan siswa, agar siswa
mampu berfikir matematika dalam kehidupan sehari-hari serta mampu
menggunakannya sebagai praktik penerapan matematika. Menguatkan
siswa dalam matematika memiliki tiga dimensi, yaitu: (1) siswa memiliki
kemampuan matematika, (2) siswa memiliki kemampuan untuk menggunakan matematika
dalam kehidupan sehari-hari, dan (3) siswa percaya akan kemampuan mereka.
Kemampuan
siswa yang ditumbuhkan dalam mempelajari matematika terutama matematika sekolah
terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuh kembangkan
kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi serta berpandu kepada perkembangan
IPTEK. Bagian-bagian tersebut terdiri dari objek-objek pembelajaran matematika
sekolah baik berupa objek langsung maupun objek tak langsung. Objek langsung
terdiri dari fakta, konsep, prinsip, dan ketrampilan. Sedangkan objek tak
langsung terdiri dari disiplin diri, kemahiran matematika, apresiasi terhadap
matematika, dan berpikir secara matematika, yaitu logis, rasional, dan eksak.
(2)
Teori Belajar
Teori
belajar yang dimaksud di sini menggambarkan bahwa siswa perlu secara aktif
menggunakan matematika dengan tujuan untuk mempelajarinya. Konsep matematika
saling berhubungan, sehingga siswa perlu memahami sebuah konsep awal sebelum
mempelajari topik selanjutnya. Oleh karena itu, dalam mempelajari matematika
siswa harus memiliki pengalaman membangun dan menyerap konsep matematika dengan
menemukan hubungan atau menguji ide dalam konteks yang baru. Dalam proses ini hal
yang terpenting adalah komunikasi. Bahasa merupakan alat dalam berpikir,
sehingga dialog diperlukan untuk membangun pengetahuan matematika yang
subjektif. Komunikasi dan interaksi juga membawa siswa untuk membandingkan ide
dan menguji validitasnya. Karena matematika adalah pengetahuan yang dibangun,
maka akan timbul perbedaan bangunan matematika antara siswa yang satu dengan
siswa yang lain. Belajar juga dipengaruhi oleh lingkungan ruang kelas. Konteks
ruang kelas ditentukan oleh beberapa komponen, termasuk maksud dan tujuan
kelas, keterlibatan siswa dan hubungan mereka, percakapan dalam kelas, dan
ketersediaan sumber materi. Maksud dan tujuan kelas mencakup hal yang berkaitan
dengan guru, orang tua, TU, dewan pengurus sekolah dan lain sebagainya. Tujuan
guru dan tekanan untuk memenuhi yang ada padanya mempengaruhi cara pandang guru
terhadap tanggung jawab, bagaimana guru merencanakan kegiatan kelas dan aspek
lain dalam konteks sosial. Kontek sosial yang penting dalam percakapan di kelas
dibentuk oleh interaksi personal dalam kelas tersebut, yang ditentukan oleh
gaya guru dalam memanajemen kelas, gaya komunikasi antara guru dan siswa,
konten matematika, dan tugas-tugas tertulis (Martin, 2009)
(3)
Teori Mengajar
Ada beberapa paham yang terkait dengan pendidikan matematika, di
antaranya adalah paham realisme dan idealisme. Menurut paham realisme, siswa
dipandang sebagai organisme hidup yang dapat melalui pengalaman indrawi dan
menangkap apa yang terjadi sebagai realitas. Siswa adalah orang yang dapat
melihat, merasa, dan mengecap, sehingga siswa dapat mengetahui dunia ini
melalui indranya. Dalam metode pengajarannya, jika kebenaran dicapai melalui
indrawi, maka pengalaman-pengalaman belajar harus diorganisir pada tingkat luas
dalam suatu cara yang memanfaatkan indra-indra. Sedangkan menurut paham
idealisme, fokusnya adalah mental dari siswa serta inteleknya. Di sekolah
penganut idealisme, guru menempati posisi yang sangat krusial, sebab gurulah
yang memfasilitasi murid. Jika dalam idealisme kebenaran merupakan ide gagasan,
maka kurikulum harus disusun di seputar materi-materi kajian yang mengantarkan
siswa bergelut langsung dengan ide gagasan.
Lebih
lanjut, Kant menyatakan bahwa matematika harus dipahami dan dikonstruksi
menggunakan intuisi murni, yaitu intuisi ruang dan waktu, sehingga siswa
membutuhkan intuisi dalam mengkonstruksi matematika. Oleh karena itu, kita
harus memahami terlebih dahulu hakikat siswa itu sendiri. Siswa adalah makhluk
sosial yang memerlukan bantuan orang lain. Hakikat siswa adalah bersifat hidup
sehingga siswa adalah subjek belajar yang ingin membangun hidupnya. Dengan
melihat pandangan filosofi yang mengkaji secara mendalam terkait dengan
pendidikan matematika, maka pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan
dalam pendidikan matematika dapat terjawab.
Filsafat
pendidikan matematika (Ernest, 1991) adalah inti dari seperangkat maksud dan
tujuan dari pendidikan matematika serta teori dari belajar dan mengajar
matematika. Social constuctivism dari
Ernest (Wilding, 2009) mencakup filsafat pendidikan matematika yang
menggabungkan filsafat matematika, teori belajar-mengajar, dan satu kesatuan
tertentu dari tujuan demokrasi untuk pendidikan matematika. Anak-anak tidak
akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang
lain. Menurut kaum Social constuctivism
yang dipelopori oleh Paul Ernest, siswa merupakan makhluk sosial dan mempunyai
kemampuan untuk membangun pengetahuan. Oleh karena itu, hal penting yang
terdapat dalam lingkup pendidikan matematika adalah intuisi matematika siswa
serta social constructivism. Siswa
memerlukan bantuan dalam mengkonstruksi pengetahuannya, dan intuisi sangat
dibutuhkan dalam mengkonstruksi pengetahuaanya.
Dari
penjabaran mengenai konsep-konsep serta filsafat pendidikan matematika jika
kita bandingkan dengan fakta yang terjadi di lapangan, maka banyak praktek
pembelajaran yang dilakukan dengan memandang pada kepraktisannya demi mengejar
materi yang telah ditetapkan pemerintah dalam kurikulum. Kemudian, kurangnya
inovasi-inovasi pembelajaran yang dilakukan terkait dengan efisiensi waktu
tetapi kurang memperhatikan keefektifannya justru menghambat proses
pembelajaran, karena pembelajaran matematika yang seharusnya adalah
memperhatikan bahwa siswa merupakan subjek belajar yang aktif dalam membangun
pemahaman mereka sendiri dari konsep-konsep. Siswa juga memiliki intuisi dan
mampu berpikir melalui pengalaman belajarnya. Melalui intuisi, siswa dapat
mengkonstruksi pengetahuan mereka secara mandiri. Melalui social constructivism, siswa juga akan belajar dengan baik ketika
mereka bekerja sama dan mengembangkan pemahaman melalui pengalaman sebelumnya.
Oleh karena itu, intuisi siswa dalam matematika harus terus dijaga dan terus
dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman pembelajaran yang bermakna agar
proses berpikir kreatif siswa juga semakin berkembang. Selain itu, social constructivism juga dapat
menciptakan lingkungan matematika yang berpusat pada siswa, kemandirian, dan
aktif. Proses belajar seperti inilah yang diperlukan untuk membangun
pengetahuan dan pemecahan masalah matematika.
F. Simpulan
Filsafat pada dasarnya adalah kehidupan. Kita juga mengetahui bahwa
filsafat adalah kegiatan olah pikir, maka dalam memikirkan filsafat kita juga
memikirkan kehidupan. Filsafat adalah olah pikir yang reflektif, sehingga
dua hal pokok dalam hidup berfilsafat yaitu pikiran dan pengalaman, di mana
kedua hal tersebut selalu terkait.
Objek filsafat adalah meliputi
segala yang ada dan yang mungkin ada. Yang mungkin ada dicari melalui pikiran
kita. Jadi hidup ini adalah proses mengubah yang mungkin ada menjadi ada.
Karena filsafat tidak bisa lepas dari lingkup kehidupan, maka mempelajari
filsafat itu penting, termasuk mempelajari filsafat pendidikan matematika.
Filsafat pendidikan matematika
mencakup tiga hal yaitu: tujuan dan nilai pendidikan matematika, teori belajar,
teori mengajar. Filsafat pendidikan matematika menyatakan bahwa posisi filsafat
yang berbeda akan berbeda secara signifikan terhadap implikasi pendidikan.
Konsep mengajar dan belajar matematika (khususnya: maksud dan tujuan, silabus,
buku teks, kurikulum, metode mengajar, prinsip mendidik, teori belajar,
penelitian pendidikan matematika, konsepsi guru terhadap matematika, dan
pengajaran matematika yang memahami persepsi siswa) akan terbawa dengan
sendirinya dari pandangan filosofis dan epistemologis terhadap matematika.
Pandangan yang lebih umum mengenai filsafat pendidikan matematika memiliki
tujuan untuk memperjelas dan menjawab pertanyaan tentang status dan pondasi
(foundation) dari objek dan metode pendidikan matematika. Secara ontologi
menjelaskan mengenai sifat dasar dari masing-masing komponen pendidikan
matematika, secara epistimologi menjelaskan apakah semua penyataan yang berarti
dalam pendidikan matematika mempunyai tujuan dan menentukan kebenaran, dan
secara aksiologi menjelaskan mengenai manfaat atau nilai yang terkandung dalam
pendidikan matematika (Marsigit, 2009).
Oleh karena itu, pendidikan
matematika harus memperhatikan filsafat pendidikan matematika karena pendidikan
matematika tidak akan berhasil jika filsafat tidak berperan di dalamnya. Sudah
saatnya guru matematika menguasai filsafat pendidikan matematika sehingga dapat
merubah pandangan mereka tentang pendidikan yang sekarang sudah berubah
paradigmanya. Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah pandangan
tentang paradigma pendidikan lama dan menggantikannya dengan paradigma
pendidikan baru dengan lebih menekankan aspek filsafat dalam pendidikan
matematika sehingga pembelajaran matematika akan mencapai tujuan yang
diinginkan.
Pendidikan
matematika memang merupakan proses sosial sedangkan siswa bersifat hidup yang
membutuhkan pendidikan untuk membangun hidupnya sehingga siswa membutuhkan
proses pengkonstruksian pengetahuannya sendiri. Melalui proses sosial siswa
dapat mengkonstruksi pengetahuannya dan untuk mengkonstruksi pengetahuannya
siswa memerlukan intuisi. Oleh karenanya, pendidikan matematika harus membantu
perkembangan konstruksi pengetahuan melalui keterkaitan aktif dan interaksi
siswa serta dapat mengembangkan intuisi matematika siswa. Namun, pada
hakikatnya semua yang ada dan yang mungkin ada memiliki berbagai macam dimensi,
termasuk intuisi. Intuisi juga berdimensi dan berasal dari mana saja, sehingga
dalam proses mengkonstruksi pengetahuan guru harus memfasilitasi siswa sehingga
intuisi yang dimiliki siswa dapat digunakan dengan baik.
Agar pembelajaran matematika dapat
memenuhi tuntutan inovasi pendidikan pada umumnya, Ebbutt dan Straker (1995)
dalam Marsigit, mendefinisikan matematika sekolah yang selanjutnya disebut
sebagai matematika, sebagai berikut: (1) matematika sebagai kegiatan
penelusuran pola dan hubungan, (2) matematika sebagai kreativitas yang
memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan, (3) matematika sebagai kegiatan
pemecahan masalah (problem solving), dan (4) matematika sebagai alat
berkomunikasi.
G. Daftar Pustaka
Ernest, Paul. (1991). The Philosophy of Mathematics Education
(Studies in Mathematics Education).
Taylor & Francis Group. [Online]. Tersedia : http://p4mriunpat.files.wordpress.com/2011/10/the-philosophy-of-mathematics-education-studies-in-mathematicseducation.pdf diakses
tanggal 5 desember 2013.
Jujun Suparjan Suriasumantri. 2009. Filsafat Ilmu:
Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kattsoff, Louis. O. 2004. Pengantar Filsafat.
Yogyakarta : Tiara Wacana
Marsigit. 2009. Philosopy of Mathematics Education.
Modul Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Program Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta. [Online]. Tersedia: www.staff.uny.ac.id
Martin, W. 2009. Paul Ernest's Social Constructivist
Philosophy of Mathematics Education. Disertasi University of Illinois at
Urbana Champaign.[Online]. Tersedia: www.search.proquest.com diakses tanggal 5 desember
2013.
Suparno, P. 1997. Filsafat
Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta
Rekaman perkuliahan Filsafat Ilmu dengan dosen
pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.