Kamis, 10 oktober 2013
Pukul 07.30 – 10.00 di ruang 103 Gedung Lama PPs UNY
Fatalisme adalah paham tentang keyakinan bahwa segala sesuatu pasti terjadi
menurut caranya sendiri tanpa mempedulikan usaha untuk menghindari atau
mencegahnya. Sikap pasrah yang mengarah kepada fatalisme dapat
dikategorikan sebagai tingkah laku yang menyimpang. Dilihat dari sisi spiritual,
terdapat perbedaan antara pasrah dalam arti fatal dengan berserah diri dalam
mengatur keseimbangan antara pasrah dan ikhtiar. Pasrah dalam arti fatal dianggap
sebagai sisi negatif yang berarti patah semangat. Sedangkan pasrah dianggap
sebagai sisi positif jika kita mau berusaha semaksimal mungkin walaupun dalam
keadaan pasrah. Oleh karena itu, berikhtiar sangatlah penting karena jika kita
tidak berusaha maka kita tidak akan pernah berubah. Allah sendiri telah
menyatakan bahwa nasib suatu kaum bisa berubah kalau mau berusaha, karena
kodrat kita sebagai manusia adalah berikhtiar.
Perlu diketahui bahwa arti antara takdir dan ikhtiar itu berbeda.
Takdir merupakan sesuatu yang sudah terjadi atau hal yang fatal, sedangkan
ikhtiar merupakan sesuatu yang belum terjadi sehingga bisa diusahakan. Dengan
demikian, untuk menghadapi pasrah dalam menghadapi cobaan kita harus menetapkan
hati kita sebagai komandan dan menetapkan spiritual sebagai basis, payung dan
tujuan.
Berbicara mengenai spiritual, sebenarnya kita berbicara mengenai diri
sendiri. Kita sebagai manusia harus menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik
Allah. Ketidaksempurnaan yang kita miliki harus kita syukuri karena kita
menjadi sadar siapa sebenarnya manusia. Jika manusia itu sempurna, maka
kehidupan dan ilmu itu tidak berarti karena kesempurnaan manusia yang sudah
mengetahui tentang semua alam semesta sehingga tidak menciptakan kedamaian
hidup. Ketika kita mengaku sebagai manusia yang sempurna maka kita juga termasuk
orang munafik yang tidak pernah bahagia. Selain bersyukur atas
ketidaksempurnaan kita, kita juga harus memohon ampun karena manusia adalah
tempatnya salah dan dosa. Karena ketidaksempurnaan manusia, maka kita sering
melakukan kesalahan-kesalahan dalam bereksperimen sehingga kita perlu memohon
ampun. Dengan demikian, kodrat kita sebagai manusia adalah bersyukur dan mohon
ampun.
Kita sebagai makhluk yang tidak sempurna juga harus belajar dan berdoa
secara kontinu di manapun dan kapanpun. Belajar merupakan proses atau usaha
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku dalam bentuk pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan nilai yang positif. Sedangkan berdoa merupakan salah
satu unsur spiritual dalam filsafat sehingga perlu dilakukan secara
terus-menerus tanpa batas waktu.
Dalam usaha manusia untuk mempelajari filsafat, yang terpenting dari belajar
filsafat bukanlah mencari jawaban melainkan penjelasan dari kata itu sendiri.
Misalnya kata “enak” bisa dikatakan sebagai hedonisme. Padahal kita tahu bahwa
hedonisme adalah sikap seseorang yang hanya mengejar kenikmatan dunia. Oleh
karena itu, kata hedonisme itu tidak dapat berdiri sendiri. Jika kata nikmat dalam
hedonisme itu diturunkan dimensinya, maka kata nikmat identik dengan kata enak,
lezat atau nyaman. Seperti halnya tidak ada air yang menjulang tinggi di tengah
laut, karena yang ada hanyalah ombak yang tinggi sehingga menyebabkan ada ombak
yang rendah dan cekungan datar.
Begitu pula dengan manusia. Kita sering berbuat tidak adil terhadap
hal-hal di sekeliling kita, padahal semuanya memiliki hak yang sama untuk
diperhatikan. Manusia menjadi tidak sempurna karena hanya bisa melihat satu
sisi dan tidak bisa melihat ke seluruh penjuru. Dengan ketidaksempurnaan
manusia ini, maka dibutuhkan reduksionisme. Reduksi bisa diartikan dalam arti
yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya karena dapat digunakan dalam struktur
dunia yang memiliki bahasa sendiri-sendiri. Reduksi juga sangat penting karena
dalam reduksi itu ada hal-hal yang terpilih dan ada hal-hal yang tereliminasi.
Dengan mereduksi, maka kita memiliki kemampuan untuk memilih dengan tujuan
untuk mendapatkan yang lebih baik. Sedangkan sikap kita terhadap hal-hal yang
tereliminasi adalah meminta maaf, sehingga meminta maaf tidak hanya kepada
Allah atau sesama makhluk hidup, tetapi juga terhadap benda-benda mati,
misalnya meminta maaf kepada ruangan atau makam. Ucapan maaf kepada benda-benda
mati ini dimaksudkan pada tata krama karena semuanya harus disikapi dengan
sopan santun. Contohnya adalah ketika kita akan masuk ke makam, kita harus
mengucapkan salam karena di makam juga ada penghuni yang tidak terlihat.
Penghuni yang tidak terlihat itu harus kita yakini karena termasuk kekuasaan
Allah.
Hal-hal tertentu yang merupakan kekuasaan Allah itu terkadang tidak
dapat kita pecahkan sehingga ketika kita ingin berpikir seperti Socrates yang
mendewa-dewakan pikiran maka kita menemui jalan buntu karena hal-hal tersebut
hanya diketahui oleh Allah. Ketika kita tidak bisa memecahkan suatu hal,
sebenarnya kita sudah mengenal dimensi spiritual yang penuh dengan keyakinan
dan keimanan, sehingga ketidakmampuan kita untuk memikirkan sesuatu dengan
pikiran merupakan misteri Allah.
Ketidaksempurnaan yang dimiliki manusia juga bisa menyebabkan
terjadinya perselisihan. Cara untuk mengatasi perselisihan agar kedua pihak mau
berdamai adalah ada kekuasaan yang lebih dari kedua pihak tersebut. Secara
filsafat, perselisihan antara dua pihak bisa didamaikan jika ada kekuatan lain,
maksudnya ketika ada dua kekuatan yang sama-sama memiliki kekuatan horizontal
maka harus ada kekuatan vertikal yang bisa mendamaikannya. Misalnya ketika ada
dua ayam jago yang bertempur, maka pertempuran tersebut akan selesai ketika ada
harimau yang datang. Kekuatan ayam jago dianggap sebagai kekuatan horizontal,
sedangkan kekuatan harimau dianggap sebagai kekuatan vertikal. Begitu pula jika
terjadi perselisihan antara dua orang anak. Karena kedua anak tersebut
sama-sama memiliki kekuasaan yang sama, maka yang bisa melerainya adalah
kekuasaan yang dimiliki orang tua. Dengan demikian, semua hal itu memiliki
kekusaan, baik antara orang besar dan kecil, antara orang kaya dan miskin,
antara orang tua dan anak, dan seterusnya.
Kekuasaan juga memiliki dimensi sehingga dimensi kuasa perlu digunakan
dalam filsafat. Misalnya, ketika menghadapi kejahatan maka kuasa spiritual itu
diperlukan. Dengan kuasa spiritual, maka tangisan dan doa bisa mengalahkan
kejahatan. Perlu diingat, bahwa senjata tidak harus dilawan dengan senjata.
Ketika senjata dilawan dengan senjata, maka yang terjadi justru perselisihan
yang berujung pada kesengsaraan. Dengan demikian, hubungan antara dunia yang
satu dengan dunia yang lain sangat penting karena berfungsi untuk mengasah keterampilan
berkomunikasi antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain. Contoh berkomunikasi
dengan yang tidak terlihat adalah permainan kuda lumping. Dalam permainan kuda
lumping, seringkali terjadi kejadian di luar pikiran manusia, misalnya tidak
keluar darah ketika ditusuk paku atau tidak terjadi apa-apa ketika menginjak
bara api dan pecahan kaca. Kejadian tersebut sebenarnya bisa dicapai dengan doa
yang intensif dan ekstensif. Ketika hati kita terjaga karena doa maka hal-hal
di luar doa adalah unsur-unsur negatif (godaan setan). Untuk mengetahui
keberadaan negatif kita tidak memerlukan logika tetapi memerlukan spiritual dan
pengalaman. Di sinilah pentingnya doa, karena jika kita hanya menggunakan
logika, maka pikiran kita tidak akan pernah sampai untuk memikirkannya. Contoh
lain tentang pentingnya doa adalah doa bisa dijadikan sebagai obat. Bagi warga
nahdliyin, berobat spiritual bukanlah sikap syirik karena tujuan dari berobat
spiritual adalah mengusir unsur negatif melalui unsur positif, maksudnya kita
membuang kotoran (negatif) dengan cara berdoa (positif).
Filsafat pun memiliki dimensi sehingga berfilsafat itu bisa memikirkan
tapi belum tentu bisa melaksanakannya, karena dalam berfilsafat itu dibutuhkan
kesadaran. Kesadaran manusia akan ketidaksempurnaan manusia juga menyebabkan
tidak ada manusia yang bisa berdiri tegak di setiap dimensi. Segala hal ada
dimensinya masing-masing, misalnya menulis tesis merupakan dimensi ilmiah
sehingga tulisan dalam tesis juga harus disesuaikan dengan dimensinya.