Kamis, 19 September 2013
Pukul 07.30 – 10.00 di ruang 103 Gedung Lama PPs UNY
Berfilsafat merupakan salah satu pemikiran manusia yang memiliki peran
penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dengan berfilsafat orang
akan mempunyai pedoman untuk bersikap dan bertindak secara sadar dalam
menghadapi gejala-gejala yang timbul dalam alam dan masyarakat. Untuk belajar
berfilsafat, orang harus mempelajari filsafat. Cara belajar filsafat yang benar
dan terarah adalah disesuaikan dengan konteks. Contoh: orang Islam menggunakan
filsafat orang Islam, orang Kristen menggunakan filsafat orang Kristen,
demikian pula dengan yang lainnya.
Berfilsafat berarti berpikir, tetapi tidak semua berpikir dapat
dikategorikan sebagai berfilsafat. Hal ini karena filsafat menghendaki olah
pikir yang sadar. Manusia
mulai berfilsafat kalau ia menyadari betapa lemah dan kecil dirinya dibanding dengan
alam semesta di sekelilingnya.
Semakin manusia terpukau oleh ketakterhinggaan sekelilingnya, semakin ia heran
akan eksistensinya (keberadaan). Oleh karena itu, kesadaran membawa
manusia menugaskan pikirannya untuk bekerja sesuai dengan aturan dan
hukum-hukum yang ada, serta berusaha menyerap semua yang berasal dari alam,
baik yang berasal dari dalam dirinya atau di luarnya. Dalam kehidupan
sehari-hari secara sadar atau tidak kita telah berfilsafat, karena apa yang
telah kita ucapkan atau kita lakukan setiap harinya adalah filsafat itu
sendiri. Tapi banyak orang yang tidak suka dengan filsafat, padahal rasa tidak
sukanya terhadap filsafat itu telah menunjukkan bahwa dirinya telah
berfilsafat.
Berfilsafat juga merupakan olah pikir yang terbuka secara spiritual.
Seperti halnya orang Indonesia yang menggunakan falsafah Pancasila sebagai
fondasi dan muara filsafat. Kita sebagai orang Indonesia yang berPancasila dan
beragama menganggap bahwa spiritual itu kedudukannya paling tinggi, tetapi juga
paling mendasar. Dengan berfilsafat, kita menggunakan pikiran yang reflektif.
Refleksi itu artinya mengenal, mengerti, dan mengungkapkan kembali dengan
kalimat sendiri. Filsafat itu pada intinya mempelajari tata cara, seperti
halnya dengan beribadah sehingga tata cara beribadah itu adalah ibadah itu
sendiri.
Berfilsafat membuat kita belajar menjadi peka karena kita menjadi
paham tentang dimensi ruang dan waktu. Sebenarnya ruang dan waktu itu bisa
dimanipulasi, tergantung satuan yang dipakai. Contoh manipulasi ruang adalah
ketika sholat kita membayangkan ada Ka’bah di hadapan kita. Sedangkan contoh
manipulasi waktu adalah jika kita mengibaratkan 1 detik adalah 1000 tahun yang
lalu, maka Plato bisa dikatakan baru meninggal kemarin sore. Oleh karena itu,
ketika ada pertanyaan “kita dari mana?” Sebenarnya yang dicari bukanlah jawaban
namun penjelasan dari jawaban itu sendiri. Kita bukan berasal dari tanah namun
berasal dari masa lalu. Namun kita juga bisa mengatakan bahwa kita berasal dari
masa depan, artinya jika sikap, perasaan dan pikiran sesuai dengan cita – cita
yang akan kita capai. Contoh yang lain adalah ketika membangun sebuah gedung bertingkat
itu bukan dari bawah tetapi dari atas karena material itu ditancapkan dari
atas. Itulah pola pikir filsafat.
Objek filsafat meliputi dua hal yaitu formal (wadah) dan material (isi)
tentang yang ada dan yang mungkin ada. Yang mungkin ada menjadi ada setelah dipikirkan,
karena dia sudah ada dalam pikiran kita. Dalam berfilsafat, seseorang harus
menjadikan hati atau spiritualnya sebagai landasan akan segala tindakan
dan ucapan. Hati atau spiritual diposisikan di tempat tertinggi dibandingkan dengan
pikiran dan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pikiran Rene Descartes
yaitu cogito ergo sum,
artinya "aku berpikir maka aku ada", maksudnya bahwa seseorang itu
ada jika berpikir. Yang membedakan antara mimpi dan kenyataan adalah “ada”.
Untuk menjadi ada, kita harus banyak membaca karena membaca merupakan cara berfilsafat
dengan proses yang sangat luar biasa dari yang mungkin ada menjadi ada.
Dengan membaca, kita ada dalam pikiran kita sendiri.
Kata “ada” di sini dapat diurai menjadi komponen ada, mengada dan pengada. Mengada
itu prosesnya dan pengada itu hasilnya. Tetapi ada, mengada dan pengada itu
sifatnya dinamis karena pengada bisa menjadi mengada, bisa menjadi ada, juga
mengada bisa menjadi pengada atau ada. Kita sebagai mahasiswa kalau tidak
berusaha tapi tiba-tiba ada, maka dicurigai plagiat. Sedangkan kalau tidak ada
hasilnya maka bukan mahasiswa, sehingga sebagai mahasiswa harus ada, mengada
dan pengada.
Cara berpikir dalam berfilsafat yaitu secara intensif dan ekstensif. Intensif
berarti sedalam-dalamnya, sedangkan ekstensif berarti seluas-luasnya. Nol di
sini dianggap belum ada. Oleh karena itu filsafat akan membahas suatu hal dari
segala aspeknya yang mendalam dan meluas. Dari pernyataan ini, sering dikatakan
bahwa kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering
dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif, karena kebenaran
ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja, sedangkan
pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, dan filsafat merupakan hakekat
dari ilmu.
Alat yang dipakai untuk belajar filsafat adalah bahasa, namun bahasa
yang dipakai adalah bahasa analog. Analog itu tidak sekedar kiasan, karena
analog itu lebih tinggi dari pada kiasan. Tanpa bahasa analog, kita tidak bisa
berfilsafat karena bahasa analog mampu mengkomunikasikan unsur-unsur dalam
dimensi yang berbeda. Tanpa analog, bahasa itu mempunyai kelemahan. Satu kata
bisa bermakna ganda atau satu makna mempunyai banyak kata. Dengan bahasa
analog, kebudayaan juga bisa berkembang. Karena pentingnya bahasa analog dalam
berfilsafat, maka orang yang berilmu adalah orang yang mampu mengerti tata
krama dan unggah-ungguh karena tata krama itu adalah ilmu. Sedangkan orang yang
tidak berbudaya dianggap sebagai orang primitif yang bisa tersingkirkan dan
terisolasi. Contoh: pemakaian kata mantan lebih pantas dari pada kata bekas.
Istilah nomena dalam filsafat bukanlah paham tetapi sebuah pembagian
atau kriteria. Imanuel Kant membagi sesuatu itu menjadi dua yaitu fenomena dan
nomena. Fenomena merupakan yang bisa dilihat dengan indra, sedangkan nomena
adalah yang tidak bisa dilihat dengan indra, namun bisa dipikirkan. Oleh karena
itu kita tidak tahu dan tidak dapat mengetahui penjelasan mengenai keberadaan
dari nomena, karena konsep murni dari nomena adalah sebuah intuisi murni yang
terlepas dari fenomena yang dialami. Meskipun nomena tidak mampu diketahui, namun
nomena harus tetap ada sebagai postulat, sebagai tuntutan moral dan sebagai
fondasi nilai-nilai ideal. Contoh nomena adalah tentang adanya arwah. Arwah
tidak bisa dilihat namun pernah dipikirkan sehingga arwah itu ada.
Metafisika adalah makna dibalik sesuatu. Meta artinya setelah. Secara
tidak sadar, setiap orang mengalami metafisika. Contoh angka 4 merupakan fisik,
namun metafisiknya adalah nilai yang lebih dari 3. Sehingga metafisika bisa
dikatakan bahwa dibalik makna ada makna. Dalam belajar matematika pun kita
belajar metafisika, misalnya kita mengetahui makna dari sebuah rumus dan bukan
menghafalkan rumus.
Mengerti tapi tidak bisa bicara (menjelaskan) disebut intuisi.
Maksudnya bahwa tidak ada orang yang bisa mendefinisikan atau semua orang bisa
mandefinisikannya. Intuisi digunakan untuk meningkatkan dimensi pikir. Belajar
intuisi memang sering dilakukan oleh anak kecil, namun orang dewasa juga menggunakan
intuisi dalam meningkatkan dimensi pikir. Intuisi ini akan mempengaruhi pola pikir seseorang, misalnya pole
pikir guru dalam memandang matematika sehingga mempengaruhi cara guru dalam
membelajarkan matematika. Guru yang menganggap matematika hanya merupakan
kumpulan angka-angka dan rumus-rumus merupakan tipe guru yang hanya mengajarkan matematika, bukannya membelajarkan
matematika.
PERTANYAAN
- Apa yang akan terjadi jika dalam berfilsafat melebihi batas spiritual?
- Apakah meningkatkan dimensi pikir dalam berfilsafat sama dengan meningkatkan dimensi pikir matematika?
- Bagaimana agar kita bisa cepat memahami kata-kata dalam elegi?